TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Dosen Bahasa Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Yatun Romdonah Awaliah menggondol gelar doktor di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Selasa hari ini (16/8).

Perempuan kelahiran Langkaplancar, Pangandaran ini lulus dengan predikat summa cumlaude (kehormatan tertinggi) setelah mempertahankan disertasinya berjudul “Kearifan Lokal Sunda dalam Film Indonesia Pasca Reformasi”.

Disertasi tersebut meneliti tiga film pasca reformasi yang mengangkat kearifan lokalitas Sunda di tengah arus moderniasi, yaitu “Ambu”, “Kabayan Jadi Milyuner” dan “Rocker”.

Yatun yang biasa akrab disapa Atun ini mempertahankan penelitiannya di hadapan dewan penguji beranggotakan enam orang, lima guru besar dan satu doktor. Ia berhasil menyelaikan studinya dalam waktu cukup singkat, tiga tahun, di bawah bimbingan Prof Dr Suminto A. Sayuti sebagai Promotor dan Dr Dingding Haerudin sebagai Kopromotor.

Menurut Ketua Sidang yang sekaligus Penguji, Prof. Dr. Margana, Yatun Romdonah merupakan doktor ke-15 di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, dan doktor ke-50 di Pascasarajana Universitas Negeri Yogyakarta.  

“Ini pencapaian yang luar biasa, karena berhasil menyelesaikan studi dalam waktu 3 tahun,” kata Margana dalam sambutannya usai menyatakan kelulusan.

Yatun Romdonah saat mempertahankan disertasnya berjudul
Yatun Romdonah saat mempertahankan disertasnya berjudul “Kearifan Lokal Sunda dalam Film Indonesia Pascareformasi”, di Universitas Negeri Yogyakarta, Selasa (16/8). (Istimewa)

Sutrisna Wibawa, mantan Rektor UNY juga menyampaikan rasa bangganya, karena Yatun merupakan angkatan pertama by research di Pascasarjana UNY.

Proses sidang pengujian berlangsung khidmat. Semua pertanyaan dewan pennguji dijawab lancar, tanpa terlihat gugup sama sekali. Bahkan Dr Dingding mengatakan dengan ungkapan peribahasa Sunda, bahwa promovenda dalam menjawab pernyataan “capetang, pertentang, bagaikan kajang ninggang kajang”, yang artinya, mampu memjawab pertanyaan tanpa ragu, pertentang dan tak ada hambatan artikulasi atau prikologis.

Setelah mengajukan pertanyaan, Prof Dr Anwar Effendi berharap Yatun melanjutkan untuk mempromosoikan keaerifan lokal Sunda lebih dalam dan lebih jauh, tidak sebatas teoritik, namun ke praktikal.

Hal sama diungkapkan Prof Maman Suryaman, yang mengharapkan agar Yatun mencari startegi bagaimana kearifan lokal dan nilai-nilai lokalitas Kesundaan bisa digemari generasi milenial Sunda dan Indonesia sebagaimana mereka menggemari budaya Pop Korea.

“Anak saya kalau disodori candil tidak mau, tapi kalau digemari boba pasti mau. Padahal kan boba itu mirip candil. Nah saya berharap bagaimana promovenda memikirkan agar budaya daerah menjadi budaya nasional yang tak hanya digemari oleh milenial Sunda, tapi milenial Indonesia dan mendunia,” katanya.

Sebagai promovenda yang kemudian berhak menyandang gelar doktor, Yatun berjanji untuk terus melakukan penelitian dan mempromosikan aspek lokalitas Sunda ke kancah nasional dan dunia, dan tak terbatas pada film.

Dalam sambutannya, Yatun tak mampu menahan isak tangis, karena belum sebulan ditinggal ibu tercinta setelah dua bulan dirawat di rumahsakit. Ini juga yang membuat Prof Tri Hj Tri Indri Hardini, Dekan FPBS UPI sebagai penguji eksternal, menitikkan air mata. Tri merasa bangga karena dosen FPBS UPI bisa berhasil meraih doktor di tengah kesedihan ditinggal ibu.*


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.