Perupa Joko Kisworo dan Kawruh Begja dalam Penciptaan Karyanya

BEGJA dimaknai sebagai bahagia yang hakiki. Tak sebatas gembira dengan capaian terhadap sesuatu yang diinginkan. Pesan itulah yang ingin disampaikan perupa Joko Kisworo melalui pameran tunggalnya yang diberi judul Begja: Bahagia Melalui Katarsis. Pameran tersebut berlangsung di Gedung B Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, pada 23 Juli sampai kemarin (19/8).

Pameran itu merupakan cerminan perjalanan spiritual sang perupa. Konflik batin dan gempuran persoalan yang muncul pada 2017 membuatnya ’’murka’’. Hal tersebut kemudian dituangkannya dalam goresan-goresan tinta pada ribuan kertas sisa berukuran 8 x 11 sentimeter. Setiap goresan memiliki makna dan emosinya masing-masing. ’’Ini bentuk katarsis saya yang saya tuangkan ke dalam kertas-kertas kecil ini,’’ ujarnya saat ditemui pada Selasa (16/8) di GNI.

Katarsis, bagi dia, merupakan proses pembersihan diri dari toksik yang ada dalam diri. Masuk ke dalam diri, mencoba mengenali diri kembali, dan mengurai segala emosi. Hingga akhirnya ia berada di titik kosong yang menenangkan.

Dari perjalanan panjang tersebut, Joko memahami bahwa rasa itu sejatinya sama. Senang, sedih, kecewa, marah, dan lainnya tersebut tidak pernah lama. Silih berganti. Hanya gradasinya yang berbeda. Sebab, setiap individu memiliki persoalan yang berbeda hingga respons yang berbeda. Karena itu, setiap rasa yang muncul tak perlu digenggam terlalu erat. Itu pula yang dipelajarinya dari wejangan-wejangan filsuf Jawa Ki Ageng Suryo Mentaram tentang kawruh begja atau ilmu jiwa bahagia.

UNIK: Pengunjung di Galeri Nasional Indonesia menyaksikan belasan ribu karya Joko Kisworo pada kertas berukuran 8 x 11 sentimeter. Namun, Joko juga mengerjakan karya ukuran besar pada kanvas berukuran 6 x 3 meter. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)

Hal tersebut tergambar dari ribuan karya Katarsis Tinta miliknya. Didominasi monokrom, hitam dan putih, Joko seolah-olah ingin menunjukkan bahwa hitam tak selalu suram. Hitam bukan kesedihan. Bahagia juga bisa diekspresikan melalui warna-warna tersebut.

’’Bahagia bukan hanya di permukaan. Dimainkan dengan warna-warna colorful, pink, kuning, dan lainnya. Katarsis ini mengajak kita melihat lebih dalam ke diri, ini bahagia, tidak sekadar gembira,’’ papar seniman yang juga aktif di kegiatan sosial bidang kesehatan mental itu.

Perjalanan tersebut pun membuatnya sadar bahwa bahagia itu hidup sewajarnya. Tidak berlebihan dan kekurangan. Hakikat tersebut sejalan dengan yang dirumuskan Ki Ageng Suryomentaram dalam NEMSA (6-SA): sakepenake, sakbutuhe, sakperlune, sakcukupe, sakmestine, dan sakbenere.

Enam rumusan tersebut kemudian dituangkannya dalam lukisan berukuran 590 x 300 sentimeter. Ukuran media yang jauh lebih besar itu seolah-olah menunjukkan kelapangan dan keluwesan hati dari perupa soal kehidupan pada akhirnya.

Pada lukisan dengan judul sakepenake, misalnya. Joko menilai, untuk bisa mendapatkan ketenangan dalam menjalani kehidupan, ada baiknya tidak memaksakan kehendak dalam menggapai apa yang diinginkan. Menurut dia, kebahagiaan akan selalu didapat jika dalam keadaan apa pun dibuat bagaimana bagusnya, bagaimana baiknya, bagaimana enaknya menurut diri kita dan Tuhan. Tidak becermin kepada orang lain.

Sementara itu, menurut kurator pameran Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana Msi, pameran tunggal Joko Kisworo tersebut merupakan salah satu pencapaian yang patut diapresiasi dan direspons positif atas katarsis kebahagiaannya dalam menjalani hidup sebagai seniman. Di dalam karya-karyanya, Joko berhasil menemukan kebahagiaan. Lebih dari itu, dia mampu mengendalikan jiwa, pikiran, dan amarahnya.

’’Lihat saja pada karya-karya yang seukuran kartu yang jumlahnya puluhan ribu. Dia bagai melakukan wiridan dengan pasrah bersyukur melepas kekhawatiran,’’ tutur Chryshnanda. Hal itu, lanjut dia, berdampak pada ketidaktakutan dan pikiran Joko Kisworo untuk menangkal energi negatif tatkala menorehkan karya-karya lukis dalam ukuran besar.

UNIK: Pengunjung di Galeri Nasional Indonesia menyaksikan belasan ribu karya Joko Kisworo pada kertas berukuran 8 x 11 sentimeter. Namun, Joko juga mengerjakan karya ukuran besar pada kanvas berukuran 6 x 3 meter. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.