Tasawuf dan Sufi, Kisah Keteladanan Sepanjang Masa

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM – Umat manusia sepanjang zaman butuh sosok teladan, yang bisa diguguh dan ditiru dalam hidup. Para teladan ini adalah mereka yang menyandang gelar sebagai rasul Allah, Nabi Allah, wali Allah, dan orang-orang sholeh. Salah satu atribut yang melekat pada para kekasih Allah ini, menurut Abu Nashr as-Siraj dalam kitab al-Luma’, adalah kebiasaan mamakai Shuf (kain wol yang kasar).

Kain wol adalah simbol pakaian sederhana oleh orang yang menjunjung kesederhanaan dalam hidupnya. Kain wol juga simbol kemiskinan yang hanya dipakai oleh orang-orang miskin dan papa. Para kekasih Allah itu mengenakan pakaian dari bahan wol untuk mengajarkan pada umatnya tentang arti kesederhanaan hidup dan hidup miskin. Dari sini, ajaran tentang zuhud dan faqr mendominasi khotbah para sufi sepanjang zaman.

Abu Nashr as-Siraj (w. 378 H/988 M) menolak anggapan bahwa tradisi kaum Sufi mengenakan pakaian wol sebagai perbuatan bid’ah yang tidak ada contohnya pada zaman Rasulullah dan para sahabat Nabi. Sebaliknya, ada banyak riwayat yang menjelaskan perilaku kaum Sufi ini sejak Nabi dan para sahabat. As-Siraj menyebutkan pada zaman Hasan al-Bashri, nama kaum Sufi sudah dikenal.

Hasan al-Bashri pun menceritakan pengalamannya saat bertawaf di Baitullah. Dirinya sempat melihat seorang Sufi yang juga bertawaf di Ka’bah. Ia menghampiri sufi itu untuk memberikan sesuatu sebagai hadiah. Tetapi, sang sufi menolak dengan mengatakan: “saya sudah punya empat Daniq (+ 2 dirham). Itu sudah cukup.”

Selain Hasan al-Bashri, ada juga riwayat dari Sufyan Ats-Tsauri, seorang yang bergelar Amirul Mukminin fi al-Hadits. Ats-Tsauri mengisahkan tentang pelajarannya yang ia dapatkan dari Abu Hasyim, seorang sufi. Ats-Tsauri berkata, andai bukan karena Abu Hasyim (al-Kufi), Sang Sufi itu, niscaya aku tidak akan paham persoalan riya’ yang begitu detail.

Abu Nashr as-Siraj melengkapi pandangannya dengan mengutip salah satu penjelasan Muhammad bin Ishaq bin Yasar tentang Khabar Kota Makkah. Sebelum Islam datang, Makkah sempat sepi, tak ada satu orang pun yang bertawaf di Ka’bah. Kemudian datangkan seseorang sufi dari negeri yang jauh, ia bertawaf di Baitullah itu lalu pergi. Sebelum Islam, nama Sufi sudah dikenal dan itu melekat pada pribadi orang sholeh.

Sedang as-Siraj, pendapat lain yang juga mengatakan istilah Sufi ini sudah ada sejak jaman sahabat dan tab’in adalah Abdurrahman al-Jami (w.898 H.), seperti dalam kitabnya Nafakhat al-Uns. Al-Jami mengatakan, orang pertama yang menyandang gelar Sufi adalah Abu Hasyim al-Kufi, yang hidup di paroh pertama abad kedua Hijriyah. Sedangkan menurut al-Qusyairi, nama Sufi ini sudah terkenal luas sebelum tahun 200 Hijriyah.

Kita masih ingat sabda Rasulullah saw: “khoirul qurun qarni tsummalladzina yalunahum tsummalladzina yalunahum,” (HR. Tirmidzi). Kurun terbaik adalah kurunku, kemudian orang-orang yang mengikutinya, kemudian orang-orang yang mengikutinya lagi. Kita bisa menafsiri makna hadits ini berdasarkan dari urutan generasi: generasi Nabi dan Sahabat, generasi Tabi’in, dan generasi tabi’in tabi’in.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com



Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.