VIVA Travel – Taman Ismail Marzuki merupakan pusat kesenian dan kebudayaan yang terletak di Jakarta. Taman Ismail Marzuki ini banyak dikunjungi wisatawan karena menjadi salah satu tempat wisata edukasi, seni, dan budaya.

Kini, Taman Ismail Marzuki memiliki wajah baru yang lebih fresh. Gedung perpustakan Taman Ismail Marzuki ini memiliki ruang baca yang kekinian dan juga instagramable banget. Dijamin makin betah baca buku disini dengan suasana yang nyaman. Masuk ke perpustakaan Taman Ismail Marzuki ini tidak dipungut biaya alias gratis. 

Perpustakaan Taman Ismail Marzuki ini juga ramah anak lho. Karena disana juga menyediakan satu lantai khusus untuk keluarga dan anak-anak. Tersedia juga sofa nyaman yang diletakkan di ruang laktasi. Yuk intip sejarah Taman Ismail Marzuki.

Sejarah Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki

Taman Ismail Marzuki (TIM) setelah direvitalisasi.

Taman Ismail Marzuki (TIM) setelah direvitalisasi.

Menyadur dari Dinas Kebudayaan, Taman Ismail Marzuki dibangun di area seluas kurang lebih delapan hektar. Pembukaannya diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, pada 10 November 1968 silam. 

Awalnya lahan ini adalah ruang rekreasi umum Taman Raden Saleh, serta kebun binatang Jakarta (saat ini pindah ke Ragunan). Kemudian, Ali Sadikin mengubah area tersebut menjadi pusat kesenian agar para seniman Jakarta dapat berkarya. 

Nama Ismail Marzuki ini dipilih atas penghargaan sebagai seniman asal Betawi (Jakarta) yang telah berjasa menciptakan 200 lagu lebih, di antaranya lagu-lagu perjuangan bangsa, seperti Halo-Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai dan Sepasang Mata Bola.

Mulanya, Gubernur Ali Sadikin saat itu sedang mencari tempat pengganti ruang ekspresi bagi para seniman dikarenakan area Pasar Senen dan Balai Budaya Jakarta tidak dapat lagi digunakan akibat perpecahan ideologi politik. Bang Ali, sapaan akrabnya melihat taman di daerah Cikini Raya ini tepat menjadi pusat kesenian dan kebudayaan. 

Kemudian, Bang Ali menyerahkan konsep perencanaan kepada para seniman. Sejak awal tahun 1968, Kantor Harian KAMI menjadi tempat banyak seniman dan budayawan berdiskusi. Selain itu, pondokan Salim Said di Matraman Raya juga menjadi tempat pertemuan. 

Adapun seniman yang sering berkumpul diantaranya Arifin C. Noer (dulu wartawan di Pelopor Baru), Goenawan Mohamad dan Ed Zulverdi (keduanya waktu itu wartawan di harian KAMI) juga Sukardjasman (wartawan Sinar Harapan). Rancangan pembentukan TIM kemudian diketik oleh Arifin C Noer, dan diserahkan oleh Christianto Wibisono kepada Bang Ali.

Ali Sadikin menyetujui gagasan bahwa Pemprov DKI akan menyediakan sarana, dana, dan fasilitas penunjang operasional TIM. Sementara itu, pengelolaan diserahkan kepada seniman dan budayawan. Gubernur Ali Sadikin juga membentuk Badan Pembina Kebudayaan yang menjadi cikal bakal Dewan Kesenian Jakarta, dan diketuai oleh Trisno Soemardjo. 

Pada 1968, terdapat 25 anggota pertama Badan Pembina: Trisno Soemardjo (pelukis), Arief Budiman (sastrawan), Sardono W. Kusumo (penata tari), Zaini (pelukis), Binsar Sitompul (musikus), Teguh Karya (sutradara), Goenawan Mohamad (sastrawan), Taufiq Ismail (penyair), Pramana Padmodarmaya (pemain teater), Ayip Rosidi (penulis), H.B. Jassin (kritikus sastra), Misbach Yusa Biran (sutradara film dan sineas), Oesman Effendi, D. Djajakusuma (sutradara film), Asrul Sani (penulis naskah drama, sutradara film), Moh. Amir Sutaarga, D.A. Peransi (perupa) dan Sjuman Djaja (sutradara film). 

Seiring dengan berjalannya aktivitas di TIM, ada pergolakan kembali di antara komunitas seniman. Para seniman kiri beranggapan Gubernur Ali dan Badan Pembina Kebudayaan tidak mengakomodir kepentingan mereka sehingga mereka meminta dibentuk satu Lembaga Kesenian. Akhirnya, pada 1973, seturut saran para seniman, Bang Ali mengambil jalan tengah dengan membentuk Akademi Jakarta yang berfungsi sebagai penasehat gubernur di bidang seni, serta berperan dalam penunjukkan seniman dan budayawan yang tergabung menjadi anggota dan pengurus Badan Pembina Kebudayaan (saat ini Dewan Kesenian Jakarta). 

Saat awal berdiri, TIM hanya memiliki dua gedung teater, satu teater terbuka, area pameran, serta gedung Planetarium yang sudah lebih awal dibangun. Gedung-gedung tersebut (dua gedung bioskop, Garden Hall, dan Podium) merupakan peninggalan Taman Raden Saleh yang dulunya sering dimanfaatkan warga untuk menonton film di malam hari. 

Seiring dengan perkembangan kawasan, saat ini terdapat lebih banyak fasilitas yang bisa digunakan: tiga gedung teater (Graha Bakti Budaya, Teater Besar, Teater Kecil), dua  galeri seni (Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III), dua  plaza (Plaza Pancasila dan Plaza Teater Kecil), serta sebuah  taman parkir. Adapula fasilitas penunjang lainnya mencakup perpustakaan daerah, pusat dokumentasi H.B Jassin, deretan kedai makanan nusantara, kineforum, toko buku Jose Rizal, dan Masjid Amir Hamzah.

Sejak berdirinya di tahun 1968, TIM menjadi saksi terjadinya eksperimentasi artistik para seniman Indonesia yang waktu itu banyak difasilitasi oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Banyak karya penting seperti Samgita Pancasona (Sardono W. Kusumo, 1969), atau teater mini kata W.S Rendra, lahir di TIM. Di ranah teater, TIM menyaksikan pertunjukan perdana Teater Koma di akhir 1980an ataupun pertunjukan teater garda depan Teater SAE di akhir 1980an, awal 1990an. Karya-karya eksperimental seperti ini mengundang kontroversi di wilayah publik, melalui perdebatan kritis di media massa maupun ruang publik lainnya.  

TIM juga menjadi panggung bagi seniman dunia ternama seperti koreografer modern asal  Amerika Serikat diantaranya Martha Graham (tampil 1974) atau Alwin Nikolais (1979); koreografer Jerman Pina Bausch (tampil 1974) dan pertunjukan kelompok butoh pertama di Indonesia, Byakkosha (1981). Pertunjukan-pertunjukan ini menjadi bahan diskusi bagi para seniman, tidak jarang mewujud menjadi polemik dalam lingkup nasional. Karya seniman-seniman daerah terbaik pun berpentas di TIM.  

Para seniman yang berkarya di tahun-tahun awal berdirinya TIM, akhirnya menjadi pengajar pada Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang kampusnya ada di belakang kompleks teater TIM. Oleh sebab itu, dengan dukungan Ali Sadikin, beberapa seniman merancang pembentukan lembaga pendidikan tinggi kesenian ini. 

Area yang dulunya sebagai arena pacu balap anjing menjadi salah satu bagian gedung perkuliahan. Peresmian lembaga pendidikan seni ini dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto pada 25 Juni 1976. Sistem pendidikan yang berjalan menggunakan sistem sanggar atau padepokan, dengan pengajar kebanyakan seniman yang sudah sering berproses dan berkarya di lingkungan TIM. 

Setelah lima tahun, lembaga ini beralih nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan sistem pendidikan formal sesuai usulan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Kini, IKJ dikelola oleh Yayasan Seni Budaya Jakarta, yang diketuai oleh Slamet Rahardjo.

Alamat Taman Ismail Marzuki

Taman Ismail Marzuki.

Buat kamu yang ingin dating ke tempat ini, kamu bisa menggunakan transportasi umum seperti kereta dan busway. Jika menggunakan KRL, kamu bisa turun di stasiun Cikini, kemudian dilanjutkan jalan kaki sekitar 1 km.

Jika kamu menggunakan transportasi busway, bisa naik busway dengan jurusan Kampung Melayu-Tanah Abang via Cikini, dan juga jurusan Senen-Lebak Bulus. Lokasinya berada di Jl. Cikini Raya No.73, RT.8/RW.2, Cikini, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10330.

Demikian ulasan tentang Taman Ismail Marzuki yang kini punya wajah baru yang lebih fresh. Semoga artikel ini bermanfaat.

Artikel ini bersumber dari www.viva.co.id.