TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Angka kematian karena resistensi antibiotik akibat mikroba atau antimicrobial resistance (AMR) cukup tinggi.
Wakil Menteri Kesehatan RI dr. Dante Saksono Harbuwono pun menyebut hal itu sebagai silent pandemic.
Sebanyak 1,2 juta kematian terjadi karena resistensi antibiotik atau penggunaan antibiotik yang tidak mempan lagi terhadap infeksi tertentu.
Baca juga: Hal yang Terjadi Jika Resisten Antibiotik Tak Segera Diatasi
“Resistensi antibiotik akibat mikroba terjadi karena protokol pengobatan yang sembarangan. Akibatnya infeksi pada pasien bertambah parah dan ini yang menyebabkan angka kematian tinggi,” ujar Dante dalam pertemuan Side Event AMR dalam rangkaian G20, pada Rabu (24/8) di Bali yang disiarkan melalui youtube.
Indonesia menginisiasi pembahasan aturan penggunaan antibiotik dalam side event AMR karena Indonesia merupakan negara tropis dengan angka infeksi tinggi.
Pembahasan ini diperlukan untuk mengatur penggunaan antibiotik yang lebih rasional, sehingga kematian akibat kesalahan penggunaan antibiotik menjadi berkurang.
Selain itu, resistensi antibiotik akibat mikroba bisa berasal dari hewan dan tumbuhan. Wamenkes menyoroti pendekatan one health dalam merespons masalah tersebut.
Baca juga: Mudah Diperoleh Tanpa Resep, Dokter Ingatkan Bahaya Konsumsi Antibiotik Sembarangan
“Melalui pendekatan one health, di mana infeksi itu bisa berasal dari hewan, tumbuhan. Itu juga penting dilakukan karena ternyata banyak sekali penggunaan antibiotik pada hewan dan tumbuhan yang tidak rasional yang menyebabkan resistensi pada manusia,” ujar Wamenkes Dante.
Ia menuturkan, pandemi Covid- 19 mengajarkan kita mengenai kesiapsiagaan dibalik ancaman kegagalan di berbagai bidang. Hal yang sama berlaku untuk resistensi antimikroba.
“Kita harus bersiap secara kolektif untuk mencegah bencana akibat AMR. Tidak ada satu industri pun yang dapat menghadapi ancaman ini sendirian. AMR membutuhkan banyak partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan,” ucap Dante.
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.