Kemegahan Venice Biennale sebagai acara bergengsi internasional selalu menyisakan cerita tentang siapa yang hadir dan tak hadir, siapa yang dirayakan dan siapa yang disembunyikan, yang kemudian menunjukkan jejak patriarkal yang sangat kuat dalam penulisan sejarah dunia.

PERISTIWA yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini memang masih sangat dibayangi oleh kuasa maskulin. Bayangkan, lebih dari lima puluh tahun penyelenggaraan, belum pernah mereka memilih kurator utama perempuan! Baru pada 2022 ini, kurator Italia Cecilia Alemani ditunjuk memimpin visi artistik perhelatan ini. Cecilia pun membuat gebrakan, mengundang lebih dari delapan puluh persen seniman perempuan dalam pameran utama Venice Biennale 2022 bertajuk The Milk of Dream. Tak hanya itu, paviliun nasional berbagai negara pun menampilkan karya-karya seniman perempuan yang menjadi kekuatan penting dalam penyelenggaraan Biennale kali ini. Sayang memang, Indonesia tidak hadir dalam perayaan ini –meskipun sebenarnya salah satu kritik penting dalam pameran ini adalah kurangnya kehadiran seniman-seniman dari kawasan Asia atau kawasan belahan bumi selatan lainnya. Seniman-seniman kulit hitam hadir secara cukup dominan, yang tradisinya juga dibuka oleh kurator Okwui Enwezor pada Venice Biennale 2017. Peraih dua penghargaan tertinggi Golden Lion untuk seniman dan paviliun terbaik bahkan dua perempuan keturunan kulit hitam: Simone Leigh dan Sonia Boyce.

Dalam The Milk of Dream, Cecilia menarasikan ulang sejarah seni dengan perspektif perempuan yang dominan, dan memasukkan praktik penciptaan visual yang sering kali tidak dianggap dalam khazanah kanon seni rupa: gambar dalam buku anak-anak, dekorasi untuk rumah ibadah, atau hal-hal yang sering dikategorikan sebagai kerajinan tangan.

Karya seniman kawakan semacam Cecilia Venua (Venezuela), Miriam Cahn (Swiss), atau Paula Rego (Portugis, yang berpulang sebulan setelah pameran ini dibuka) bersanding dengan seniman generasi muda seperti Thao Phan Nguyen atau Wu Tsang. Karya Cecilia menampilkan sebuah imajinasi yang ekspresif dan jujur dari cara pandangnya terhadap tubuh perempuan, mengartikulasikan fantasi yang naif atas pengalaman seksual, imajinasi daya hidup dan relasi tubuh dengan kosmologi. Sementara karya-karya Paula Rego menantang pandangan yang stereotipikal tentang perempuan. Ia menolak feminisasi yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, dan menampilkan sosok perempuan dalam lukisan-lukisannya sebagai figur yang penuh kekuatan dan kemampuan ”bertarung”; ada bentuk perlawanan dan kemarahan dalam ekspresi yang dimunculkannya. Miriam Cahn menampilkan citra-citra surealis yang minimalis tentang eksistensi perempuan dalam ruang yang luas, yang menunjukkan tubuh mereka dalam ruang liminal, berada di antara ada dan hampa.

Seniman Inggris berdarah Barbados/Jamaika, Sonia Boyce, memberikan ruang bagi suara-suara perempuan yang selama ini terbungkam dan dipinggirkan. Ia mengajak empat penyanyi untuk berkolaborasi mengartikulasikan pengalaman kehidupan mereka sebagai bagian dari kelompok diaspora, kaum berwarna, yang sarat dengan sejarah pascakolonial dan kompleksitas kontestasi gender dalam medan pertarungan kuasa sehari-hari. Sonia menghubungkan gagasan tentang bersuara dan mendengar itu dengan sejarah pertambangan emas yang menjadi muasal bagi sejarah panjang kolonialisme.

Seniman Prancis keturunan Aljazair, Zineb Sedira, menampilkan instalasi latar artistik film yang memberi penonton pengalaman tubuh sinematik yang kuat, yang dibuatnya sebagai sebuah tafsir atas sebuah film Battle of Aljazair. Zineb bertemu dengan para seniman perempuan diaspora di Eropa, menghubungkan karya dan pemikiran mereka dengan sejarah persilangan pemikiran, dengan berfokus pada pertemuan budaya Italia, Prancis, dan Aljazair. Zineb menampilkan kegembiraan bersama dari pergaulan dan solidaritas antarperempuan.

Di Paviliun Amerika Serikat, pematung Simone Leigh secara langsung menghadapkan audiens pada citra Amerika yang lain, yang dibentuk dari sejarah dan konteks antropologi diaspora Afrika dan masyarakat kulit hitam, terutama bagaimana tubuh perempuan menjadi situs bagi narasi-narasi kekerasan, opresi, dan trauma psikis. Simone merebut kedaulatan tafsir atas tubuh dengan membalik tatapan kolonial dan tatapan maskulin yang telah membelenggu perempuan selama ratusan tahun.

Tak hanya perempuan, gender-gender nonbiner juga mendapat ruang dalam VB 2022 ini. Yuki Kihara, seniman transpuan asal Samoa yang menetap di Selandia Baru, mengangkat relasi yang penuh lapis sejarah antara pandangan eksotis kolonial atas lanskap bumi Pasifik melalui arsip tentang Paul Gaguin untuk bicara tentang bayangan Barat tentang wilayah tersebut. Sembari membicarakan lanskap, Yuki juga mendiskusikan perjuangan kelompok gender nonbiner di Samoa yang cukup besar jumlahnya, untuk bisa mendapat posisi yang sama sebagai warga dengan gender lainnya. Keindahan Samoa yang ditampilkan melalui wallpaper dan latar foto dikontraskan dengan sistem modern Barat yang mengabaikan dan menghapus kepercayaan lokal.

Paviliun Polandia menampilkan karya yang memukau dari Malgorzata Mirga-Tas tentang identitas perempuan Rumania, dengan instalasi lukisan sulam yang memenuhi seluruh dinding paviliun bertajuk Re-enchanting the World. Seniman ini membangun dramaturgi pengetahuan perempuan melalui serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pangan, karya, kehidupan sosial, pendidikan anak, dan hal lain berkaitan dengan pengalaman migrasi kaum Roman, yang semua dimunculkan dalam referensi ikonografis yang luas dengan konteks Asia, Persia, Afrika, dan sebagainya.

Salah satu favorit lain adalah Paviliun Hongkong yang menampilkan karya Angela Su dengan kurator Freya Chau. Inspirasi untuk karya Angela Su adalah peristiwa Maret 1967 tentang protes Pentagon di Amerika Serikat terhadap Perang Vietnam, katanya. Pada satu titik, para pengunjuk rasa mulai meneriakkan dan menggunakan ritual tiruan untuk mencoba menerbangkan gedung Pentagon yang dianggap mewakili kekuatan militer AS. Karakter fiksi sentral dalam film, Lauren O, terinspirasi oleh Lauren Olamina, karakter utama dalam buku Octavia Butler, The Parable of Sower, yang belajar terbang dalam mimpinya. Semua elemen lain dalam pertunjukan, dalam beberapa bentuk atau lainnya, mengeksplorasi ”persiapan psikologis untuk levitasi”.

Venice Biennale 2022 saya kira memberikan terobosan penting untuk mengubah sejarah seni yang selama ini maskulin, dan menawarkan cara pandang dunia dari kacamata dan pengalaman perempuan. Karakter-karakter yang dipengaruhi oleh pengalaman yang intim dan personal bertemu dengan kontribusi perempuan yang penting atas gerakan sosial politik, ekologi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. (*)

MEMBAWA PESAN: Karya Margolzata Mirga-Tas di Paviliun Polndia (kiri) dan karya Simone Leigh (kanan) di Venice Biennale 2022. (ALIA SWASTIKA UNTUK JAWA POS)

*) ALIA SWASTIKA, Kurator dan direktur Yayasan Biennale Yogyakarta


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.