SEJARAWAN Universitas Airlangga Adrian Perkasa mengapresiasi upaya insan seni untuk menyuguhkan fragmen sejarah ke atas panggung. Salah satunya musikal Ken Dedes yang diusung Sanggar Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company dalam Festival Musikal Indonesia (FMI) di Ciputra Artpreneur, Jakarta, pekan lalu.

Dalam lakon yang disutradarai Rusdy Rukmarata itu, Ken Umang ditampilkan sebagai tokoh yang tidak kalah besar dari Ken Dedes. Maka, di atas panggung, alur roman epik itu menjadi tidak biasa. ’’Tidak masalah. Karena memang banyak interpretasi yang dibuat dari cerita sejarah agar populer,’’ kata Adrian kepada Jawa Pos saat dihubungi Jumat (26/8).

Bagi Adrian, sentuhan seni dalam fragmen sejarah yang kisahnya mungkin sudah dihafal luar kepala oleh banyak orang itu sangat menarik. ’’Justru membuat sejarah makin laku dan populer dalam masyarakat,’’ lanjutnya.

Kisah cinta Ken Arok dan Ken Dedes dikenal luas. Sementara itu, percintaan Ken Arok dan Ken Umang tidak banyak diulas. Melalui pentas, EKI Dance Company menyajikan episode yang tak populer itu dalam kemasan yang indah.

Dalam Kitab Pararaton, menurut Adrian, Ken Umang disebut sebagai selir Ken Arok. Pernikahan itu menghasilkan empat keturunan. Yakni, Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Twan Wregola, dan Dewi Rambi. ’’Tidak disebutkan apakah Ken Umang ini sudah kawin dengan Ken Arok saat dia menikah dengan Ken Dedes,’’ tuturnya.

Kitab Pararaton juga menuliskan bahwa Ken Arok sebenarnya bukan siapa-siapa. Anak yang tidak jelas asal usulnya, tapi punya kesaktian. Dia kemudian menjadi panglima perang Akuwu Tumapel Tunggul Ametung, suami Ken Dedes. Episode itulah yang mengantarkan Ken Arok kepada Ken Dedes sampai keduanya menjadi suami istri.

Pada era Singasari itu, lumrah bagi seorang raja untuk memiliki lebih dari satu istri. Selain permaisuri, raja juga punya beberapa selir. Ken Arok yang bepermaisuri Ken Dedes pun memiliki istri lain, yaitu Ken Umang. Makin banyak istri raja, maka makin disukai. Sebab, ada pemahaman kuno bahwa jumlah istri raja melambangkan kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan suatu kerajaan.

’’Tapi, itu terjadi sampai abad ke-19. Kalau zaman sekarang ya bisa dibilang selingkuh,’’ celetuk Adrian yang sedang menempuh studi doktoral di Leiden, Belanda.

Sejarah selalu terbuka pada banyak dimensi. Kitab Pararaton menyajikan roman epik itu dari sudut pandang Ken Arok. Dominasi laki-laki sangat terasa. Namun, EKI Dance Company mengangkat kisah tersebut dalam kemasan yang lebih kental akan nuansa feminis. Bahwasanya peran perempuan pada masa itu tidak terlalu banyak dicatat.

Ken Dedes adalah bagian penting dalam konspirasi Ken Arok untuk menumbangkan Tunggul Ametung. Namun, Ken Dedes lebih sering diekspos sisi fisiknya sebagai perempuan cantik yang rahimnya diberkahi karena menurunkan raja-raja. Terlalu dominannya sorotan terhadap Ken Arok membuat Ken Dedes dan Ken Umang tak lebih dari objek seksual lelaki.

“Mungkin sudut pandang itu yang kemudian melatarbelakangi penulis atau sutradaranya. Makanya dibuat plot terbalik,” ungkap Adrian.

Suguhan seni seperti itu menjadi rangsangan bagi masyarakat. Tujuannya, mendorong masyarakat untuk mengulik lebih banyak tentang Ken Arok, Ken Dedes, dan Ken Umang. Maka, literatur sejarah kembali dibuka. Ketika yang seperti itu terjadi, maka pementasan musikal pada 21-22 Agustus lalu itu berhasil.

AMBISI: Pemeran Ken Arok dalam salah satu adegan perang pada pentas musikal Ken Dedes. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.