TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saat ini Perhutani mengelola 2.433.024,7 hektar hutan pulau Jawa atau 18 persen dari luasan Pulau Jawa. 

Sebanyak 338.944 Ha diantaranya  berada di Provinsi Jawa Barat dengan rincian ±163.427 Hutan Lindung dan ±175.517 Ha Hutan Produksi.

Gunung Cikurai Kabupaten Garut dan Kawasan Hutan Lindung Hutan Produksi Ciwidey Kabupaten Bandung masuk di dalamnya.

Demikian pemerhati lingkungan, Cepi Dadang Komara, mengenai Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), yang kini jadi perbincangan masyarakat, Minggu (24/7).

 
“Hadirnya KHDPK di tengah masyarakat sebetulnya ibarat tamparan keras orang tua terhadap anaknya yang bandel melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan perlindungan hutan dan reboisasi serta rehabilitasi, tanpa mengumbar aibnya dikarenakan masih anak. Perhutani seharusnya berterimakasih dikarenakan beban tugas pokok fungsinya dikurangi oleh orang tua, sehingga Perhutani cukup mengelola yang memang sesuai kemampuannya untuk dikelola,” ujar Cepi.

Mengenai munculnya kekhawatiran akan rusaknya lingkungan, Cepi berpendapat sebetulnya bukan menjadi alasan sebagian masyarakat yang menentang KHDPK.

Sebagaimana contoh wilayah Gunung Cikurai yang sejak terjadinya banjir bandang tahun 2016 hingga saat ini, tidak nampak dilakukan pembenahan fungsi dan peruntukan serta perlindungan hutan oleh pemegang mandat kelola dan tidak pula ada jaminan kedepan rehabilitasi akan dilaksanakan oleh pemegang mandat, Perhutani.

“Langkah strategis Menteri LHK dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor : SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus,” tegas Cepi.

Menteri Siti Nurbaya juga telah mengambil langkah strategis dengan melibatkan banyak Direktorat Jenderal dalam pelaksanaan KHDPK, satu diantaranya Ditjen Penegakkan Hukum yang disiapkan untuk melaksanakan perlindungan hutan.

Baca juga: Regulasi KHDPK Perkuat Program Perhutanan Sosial dan Upaya Selamatkan Hutan Jawa

Sementara bagi Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, kata Cepi, menjadi tantangan tambahan untuk menepis kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap KHDPK serta harus sanggup berpacu menyeimbangkan antara mensejahterakan masyarakat yang menjadi mitra kelola dengan percepatan perbaikan lingkungan. 

Ke depan, diharapkan narasi bencana alam banjir dan longsor di pulau Jawa akan hilang di dalam The Forest State dan The Environment State Indonesia. 

“Yang perlu disegerakan oleh KLHK adalah segera sosialisasikan maksud dan tujuan dari KHDPK secara detail agar opini-opini liar yang tidak produktif sirna dan para penunggang liar segera memahami maksud dan tujuan secara utuh,” kata Cepi.

Dijelaskan Cepi, setelah bertahun-tahun kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lambat memberikan hasil, sementara diantaranya kejadian bencana alam banjir dan longsor terus terjadi, menuntut perbaikan lingkungan, hadirnya KHDPK menyiratkan kawasan hutan yang dimandatkan untuk dikelola BUMN, dalam hal ini Perhutani kembali ditarik oleh Pemerintah.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.