JawaPos.com – Bukan tanpa alasan jika mural yang menghiasi tembok-tembok di Dusun Karangwatu menampilkan punakawan sebagai tokoh utama. Ada adegan punakawan mengikuti upacara bendera, ada pula adegan bergotong royong berlatar tempat-tempat ibadah.

’’Bagong, Petruk, Semar, dan Gareng sedang mengikuti upacara bendera sesuai butir sila ketiga Pancasila,” kata Ki Yulius Iswanto kepada Jawa Pos di salah satu gang yang bertaburan mural punakawan pada Selasa (9/8). Lelaki yang berprofesi sebagai dalang itu adalah penggagas mural wayang di kampungnya.

Mengapa harus punakawan? ’’Punakawan adalah figur yang sederhana. Mereka mendampingi para bendoronya. Kalau ada yang kurang benar, dibetulkan. Mereka juga mengingatkan para bendoro agar senantiasa berbuat baik,” urai Iswanto.

Dusun yang terletak di Desa Pucungrejo, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu punya banyak talenta. Selain Iswanto yang dalang, ada banyak profesi seni lain yang ditekuni 311 KK di sana. Di antaranya, seniman karawitan, tari, keroncong, dan hadrah.

Didik Purwanto, kepala dusun, menyatakan bahwa selain agama yang beragam, warga Karangwatu multietnis. Suku Jawa, Flores, dan Tionghoa hidup berdampingan. ’’Kalau ada tarub (hajatan pernikahan, Red), sripah (lelayu, Red), atau hari-hari besar keagamaan, semua warga terlibat dan bergotong royong,” paparnya.

Namun, bukan hanya warga yang beragama yang merasa nyaman tinggal di Karangwatu. Mereka yang memilih untuk tidak mengidentifikasikan keyakinannya dengan agama tertentu pun dirangkul. Petrus Suharto, misalnya. Dia memilih untuk mengosongkan kolom agama pada KTP. Untuk urusan administrasi, dia banyak dibantu oleh pengurus RT.

’’Saya agnostik. Ber-Tuhan, tapi tidak menjadi umat agama apa pun. Kalau di sini, tidak ada yang mempermasalahkan pilihan saya,” ujar Harto.

Cuplikan perbedaan yang justru mempererat hubungan warga yang satu dengan lainnya itulah yang membuat Karangwatu terpilih sebagai Kampung Pancasila pada Juni lalu.

GUYUB: Ki Yulius Iswanto (empat dari kanan) dan Didik Purwanto (tiga dari kiri) bersama warga lainnya memamerkan plakat Kampung Pancasila. (FRIZAL KURNIAWAN/JAWA POS)

Menjiwai peran punakawan yang selalu berbuat baik, masyarakat Karangwatu juga bergandengan tangan untuk mempertahankan tradisi baik dalam kehidupan mereka. Salah satunya adalah kebiasaan mempersiapkan uba rampe warga yang meninggal dunia. Sebab, pada akhirnya semua orang akan berpulang kepada pencipta-Nya.

Karena tidak pernah ada yang tahu kapan giliran masing-masing tiba, warga mempersiapkan segala sesuatunya secara bersama-sama. Tujuannya adalah meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Kegiatan semacam itu adalah contoh kebajikan yang lantas dibiasakan oleh warga.

“Kalau ada warga yang meninggal, kami sudah menyiapkan. Terutama bagi yang kurang mampu. Untuk yang muslim, kami menyiapkan nisan. Tinggal nanti dikasih nama saja,” kata Sumardi yang sedang sibuk membuat peti mati bersama beberapa warga lain saat dijumpai Jawa Pos.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.