Nonaktifkan Karopaminal dan Kapolrestro Jakarta Selatan
JawaPos.com – Kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat memasuki babak baru. Tadi malam Kapolri Jenderal Listyo Prabowo memutuskan untuk menonaktifkan Karopaminal Divpropam Polri Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombespol Budhi Herdi Susianto.
Keputusan penonaktifan itu sesuai dengan permintaan keluarga Brigadir Yosua. Dengan demikian, sudah ada tiga petinggi Polri yang dinonaktifkan.
Sebelumnya, Kapolri mencopot Irjen Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadivpropam.
Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, pengganti Kapolres Jaksel akan ditunjuk oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. ’’Ini sebagai komitmen Kapolri untuk menyerap aspirasi masyarakat,” jelasnya.
Sebagaimana diberitakan, kuasa hukum keluarga Yosua mendesak Kapolri untuk mencopot Karopaminal dan Kapolrestro Jaksel. Kuasa hukum keluarga Yosua menyebut Karopaminal pernah datang ke Jambi untuk menemui keluarga Yosua. Namun, kedatangan Karopaminal terkesan mengintimidasi. Sementara itu, Kapolrestro Jaksel adalah orang pertama yang memimpin penyelidikan kasus tersebut. Dia dinilai sering memberi pernyataan yang menyudutkan Brigadir Yosua tanpa bukti konkret.
Kapolri juga menyetujui permintaan keluarga Brigadir Yosua untuk melakukan ekshumasi atau otopsi ulang. Selain itu, tim khusus telah menemukan rekaman CCTV yang bisa mengungkap kasus tersebut secara jelas. Rekaman video itu akan diungkap setelah tim khusus selesai bekerja.
Direktur Tindak Pidana Umum Brigjen Andi Rian Djajadi menambahkan, pihaknya bakal melakukan sinkronisasi berdasar metadata CCTV tersebut. Apakah rekaman CCTV itu menunjukkan adanya baku tembak? Andi tidak menjawab pertanyaan Jawa Pos. ’’Itu materi penyidikan. Hanya penyidik yang boleh meminta CCTV itu,” paparnya.
Irjen Dedi juga mengklarifikasi kabar yang menyebutkan bahwa kasus Brigadir Yosua di Polda Metro Jaya diambil alih Bareskrim. Menurut dia, yang ditangani Bareskrim adalah kasus pembunuhan berencana yang dilaporkan keluarga Brigadir Yosua. Kasus itu berdiri sendiri. ’’Beda dengan yang ditangani Polda Metro Jaya,” terangnya. Kasus yang ditangani Polda Metro Jaya bersumber dari pelaporan Bharada E.
Polemik Sudut Tembakan
Sebelum penonaktifan Karopaminal dan Kapolrestro Jaksel, Jawa Pos sempat mewawancarai seorang petugas yang menangani kasus Yosua. Dia mengatakan bahwa tim gabungan penyelidikan kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat seolah memulai penyelidikan dari nol. Sebab, hasil penyelidikan yang dilakukan Polrestro Jakarta Selatan (Jaksel) dianggap sumir. Sejumlah alat bukti juga diragukan keotentikannya. ”Semua (tim gabungan, Red) bisa memakluminya. Karena kemungkinan Satreskrim Polrestro Jaksel bekerja dalam tekanan yang cukup besar,” kata petugas yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Maklum, Kapolrestro yang pangkatnya Kombespol harus memeriksa perkara yang melibatkan jenderal bintang dua. Apalagi, yang punya perkara adalah Kadivpropam (nonaktif) Irjen Pol Ferdy Sambo.
Sumber Jawa Pos itu mengungkapkan, yang pertama diperiksa adalah luka tembak di tubuh Yosua. Semua luka tembak tersebut mempunyai sudut yang tidak sesuai dengan situasi baku tembak. Sebelumnya Kapolrestro Jaksel Kombespol Budhi Herdi Susianto memang menyatakan bahwa terjadi baku tembak antara Brigadir Yosua dan Bharada E.
Saat itu Bharada E yang disebut berada di tangga lantai 2 berhasil memberondong tubuh Yosua. ”Padahal, luka tembak semua sudutnya lurus. Artinya, tidak mungkin ditembak dari tempat yang lebih tinggi. Yang berarti, cerita baku tembak menjadi tidak masuk akal,” paparnya.
Selain itu, ada dua luka akibat tembakan dari arah belakang. Pertama, dari kepala bagian belakang tembus hidung. Lalu dari pergelangan tangan kiri tembus ke jari. ”Bagaimana bisa seperti itu jika terjadi baku tembak?” cetusnya.
Yang paling mungkin adalah Yosua sudah bersujud minta ampun, tapi tetap ditembak. ”Tapi, yang ini baru spekulasi sementara ya. Belum kesimpulan. Perlu alat bukti lainnya. Yang jelas, narasi baku tembak sudah terpatahkan,” ungkap sumber tersebut. Hanya, bagaimana kronologi sebenarnya, itu yang masih dicari.
Ada dugaan terjadi cekcok berat saat Yosua mengawal perjalanan Ferdy Sambo dari Magelang menuju Jakarta. Kemudian, eksekusi dilakukan di rumah Kadivpropam. Dari olah TKP, diketahui genangan darah hanya tampak di titik Yosua tertelungkup. Artinya, jika narasi baku tembak benar terjadi, seharusnya ada darah yang terciprat.
Pada bagian lain, Mabes Polri Selasa lalu memutuskan untuk menahan Bharada E. Namun, tim gabungan belum bisa mendapatkan banyak keterangan. Setiap ditanya, Bharada E selalu menjawab dengan ”saya”. Seolah-olah dialah yang mengambil tanggung jawab dari semua yang terjadi. Bharada E inilah yang tercatat sebagai pelapor kasus pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawati, istri Ferdy Sambo. Laporan itu diajukan ke Polrestro Jaksel.
Sementara itu, Kamaruddin Simanjuntak dan Johnson Panjaitan, kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua, mendatangi markas Bareskrim kemarin. Mereka datang karena mendapatkan undangan untuk gelar perkara awal kasus penembakan Yosua. Kamaruddin mengatakan, pihaknya sangat yakin Yosua menjadi korban pembunuhan berencana. Keyakinan itu didasari temuan bukti baru. ”Ada bekas luka jeratan di leher jenazah Brigadir Yosua,” paparnya.
Luka bekas jeratan itu terlihat melingkar di leher. Dia menduga, saat penyiksaan, leher Yosua dijerat seseorang. ”Karena itu, pelakunya bisa lebih dari satu orang,” urainya, lalu menunjukkan foto jenazah Yosua dengan luka memar di leher.
Menurut Kamaruddin, keluarga menduga ada orang yang berperan menembak, lalu orang lainnya menggunakan senjata tajam. Ada juga seseorang yang menjerat leher Yosua dari belakang. ”Tidak mungkin dilakukan hanya satu orang,” jelasnya di lobi Bareskrim Polri kemarin.
Jika memang Yosua tewas dalam baku tembak dengan satu orang, tidak mungkin muncul luka memar bekas jeratan tali. Karena itu, keluarga Yosua tetap meminta dilakukan otopsi ulang. Otopsi ulang harus dilakukan para ahli dari sejumlah rumah sakit. Yakni Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Rumah Sakit TNI-AL, Rumah Sakit TNI-AU, RS Cipto Mangunkusumo, dan RS swasta nasional. ”Kami mohon ke Kapolri, Wakapolri, Irwasum, Kabareskrim, dan Dirtipidum untuk membentuk tim tersebut,” ujarnya.
Kamaruddin menegaskan, keluarga menolak hasil otopsi yang sebelumnya. Sebab, sesuai keterangan sebelumnya, luka-luka di tubuh Yosua disebut akibat tembakan. Padahal, ditemukan luka yang bukan karena peluru. ”Kalau Polri tidak ada anggaran untuk otopsi ulang, saya siap menanggung,” tegasnya.
Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.