Kaum Sufi dan Peradaban Persia

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM – Kaum Sufi dalam sejarah peradaban Islam selalu ditandai dengan karakter yang inklusif, terbuka, pluralis, dan sainstifik. Peran besar kaum sufi dalam dakwah Islam, sosial kemasyarakatan, dan politik Islam tidak lepas dari peran mereka dalam pengembangan keilmuan Islam. Karenanya, para Sufi terbuka untuk menerima kebenaran saintifik sekalipun itu datang dari luar tradisi Islam, seperti Persia.

Arthur de Gobineau (1865) dalam bukunya yang berjudul Les Religiouns et les Philosophies dans l’Asie Centrale mengatakan bahwa tingkat rasionalitas kaum Smit tidak mampu menggapai pengetahuan ilmiah dan seni. Pertama, karena miskin imajinasi, dan kedua, karena bergantung pada kedetailan urusan ruhani dan linguistik. Karenanya, ketika para Sultan Smit menaklukkan Persia, peradaban Persia ini mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam, termasuk Sufisme.

Pengaruh Bangsa Arya (Iran) terhadap Bangsa Smit ini sangat besar, hal itu bisa dilihat dari aspek peradabannya, pemikiran keislaman, hingga akidah-akidah Islam sepanjang sejarah. Tidak heran bila kita memiliki tokoh-tokoh Iran sejak abad 9 Masehi seperti Abu Yazid dari Bastam (w. 874), Imam Muslim dari Naisabur (w. 875), Imam Ibnu Majah dari Qazvin (w. 887), dan Abu Hatim ar-Razi dari Ray (w. 890).

Pada abad 10 Masehi, kita mengenal tokoh-tokoh Iran seperti Manshur al-Hallaj dari Fars (w. 922) dan Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi dari Ray (w. 930). Pada abad 11 Masehi, ada Imam al-Ghazali dari Thus (w. 1111), Umar Khayyām dari Naisabur (w. 1131), dan Abdul Qadir Jailani dari Gilan (w. 1166).

Pada abad 13 Masehi, ada tokoh seperti Fariduddin al-Aththar dari Naisabur (w. 1230), Syamsuddin Tabrizi dari Tabriz (w. 1248), dan Nashiruddin ath-Thusi dari Tus (w. 1274). Pada 17 Masehi muncul tokoh besar seperti Mulla Sadra dari Syiraz (w. 1641). Pada abad 20, kita mengenal tokoh-tokoh Iran seperti Ali Syariati dari Kahak (w. 1977) dan Muhammad Husein Thabathabai dari Syiraz (w. 1981).

Untuk konteks muslim aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, termasuk muslim Indonesia, pengaruh tokoh-tokoh intelektual Iran ini sangat besar. Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Imam al-Ghazali sangat masyhur, ajaran-ajarannya berkembang luas dan bertahan hingga abad 21 ini. Kitab-kitab karya Imam Ghazali terus dikaji secara ilmiah, dan dijadikan mata pelajaran di pondok-pondok pesantren.

Sementara Ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan Imam al-Ghazali sebagai standar dasar tasawuf amali, di samping Junaid dari Baghdad. Pengaruh Imam Ghazali ini sebesar pengaruh tarekat Qadiriah, yang didirikan Syeikh Abdul Qadir, dan diamalkan sebagai salah satu tarekat Mu’tabarah. Muslim Indonesia secara umum adalah pengamal dan pengikut setia Imam Ghazali dan Syeikh Abdul Qadir.

Sementara tasawuf falsafi Iran berkembang di Nusantara melalui ajaran-ajaran Abu Yazid Bustomi dan Abu Manshur al-Hallaj. Kita mengenal ajaran Wahdatul Wujud versi Nusantara dari tangan Waliyullah Syeikh Siti Jenar, yang kemudian mengental di tangan Syeikh Mutamakkin. Tampaknya, anak-anak muda Nahdliyyin tertarik pada pemikiran Abu Yazid Bustomi dan Manshur al-Hallaj ini, di samping ajaran-ajaran Muyhiddin Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi.

Artinya, kaum Sufi dari Iran sangat besar peran dan kontribusinya dalam mengembangkan kajian keislaman. Pengaruh mereka pun turut mempengaruhi pola keislaman dan keberagamaan sufistik di Nusantara. Islam berkembang pesat karena mampu berdialektika dengan kearifan lokal setempat. Bahkan, ketika Islam sufistik datang ke Nusantara, kearifan lokal Nusantara pun turut mempengaruhi pola keberagamaan kaum Muslim.

Lokalitas Persia (Iran) menjadi satu karakteristik keislaman, yang dikembangkan oleh kaum Sufi. Henry Corbin pernah mengatakan bahwa hubungan tasawuf Islam as-Suhrawardi al-maqtul dengan paham keagamaan Zoroaster memiliki kesinambungan yang kuat (Henry Corbin, 1971). Karenanya, tasawuf as-Suhrawardi sangat khas, dan tidak mudah ditemukan dalam pemikiran tasawuf sufi lain di luar Iran.

Dengan begitu, kita sebagai umat muslim yang sangat mencitai kaum Sufi, terutama aliran Sunni, patut mengikuti pola pikir dan perilaku mereka dalam mengembangkan kajian keislaman. Salah satunya, meminjam istilah dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah pribumisasi Islam. Kaum Sufi mampu membumikan ajaran-ajaran Islam dengan ungkapan dan narasi-narasi yang khas lokal.

Pribumisasi Islam ini telah dicontohkan oleh para Walisongo. Misalnya, mereka menggunakan istilah-istilah lokal untuk menyebut ajaran-ajaran Islam; puasa untuk shiam, sembah hyang untuk sholat, sekaten untuk syahadatain, tan keno kinoyo ngopo atau tan keno kiniro untuk tanzih atau laitsa kamitslihi syaiun, dan lain-lainnya. Pribumisasi semacam ini dilakukan oleh kaum Sufi atau Waliyullah Nusantara.

Pribusasi Islam sama saja dengan inklusifisasi Islam; menjadikan Islam inklusif dan afirmatif terhadap ‘urf (adat dan tradisi lokal). Dengan proyek pribumisasi dan inklusifitas inilah, ajaran-ajaran Islam terus berkembang dari satu masa ke masa berikutnya, dari satu tempat ke tempat lain. Karena itulah, nyaris sulit menemukan kaum sufi yang anti terhadap lokalitas, sebagaimana kita lihat kaum Sufi Iran yang tidak anti terhadap kearifan lokal Persia itu sendiri.[]

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.