TRIBUNNEWS.COM, SURAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid LC, MA., mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK), yang belum lama, ini menegaskan kembali penolakan terhadap perkawinan beda agama.

Sikap penolakan terhadap perkawinan beda agama, juga disampaikan oleh Pemerintah melalui wakilnya dalam persidangan di MK yaitu Menkumham dan Menteri Agama.

Penyikapan MK dan Pemerintah itu sesuai dengan Pancasila pasca Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang menegaskan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan tak terpisahkan dari Konstitusi. Sikap penolakan Pemerintah dan MK itu juga sesuai prinsip HAM yg diatur dalam Konstitusi (UUD NRI 1945) pasal 28 B ayat 1 dan pasal 28J ayat 2.

“Soal pengajuan peninjauan kembali tentang ketentuan Pernikahan beda Agama ke MK, hanyalah salah satu contoh betapa pentingnya Pancasila pasca Dekrit 5 Juli 1945 direaktualisasikan dalam bentuk yang benar. Agar rumah bangsa Indonesia ini selalu mendapatkan solusi yang konstitusional sesuai dengan ideologi Bangsa dan Negara. Yaitu, Pancasila,” kata Hidayat Nur Wahid menambahkan.

Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid, saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Dan Call For Papers, kerjasama Sekretariat Jenderal MPR RI dengan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah, dan Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial.

Tema yang dibahas pada seminar nasional tersebut adalah Aktualisasi Pancasila Dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi Konstitusional Indonesia. Seminar nasional tersebut berlangsung di Surakarta, Selasa (5/7/2022).

Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua MPR melakukan pemukulan gong sebagai penanda dimulainya Seminar Nasional. Hidayat Nur Wahid yang akrab disapa HNW juga menyaksikan penandatangan kesepahaman dan kerjasama antara MPR dengan UMS, yang masing-masing dilakukan oleh Sesjen MP Dr. Maruf Cahyono, SH., MH., dan Rektor UMS Prof. Dr. Sofyan Anif, M.Si.

Ada lima narasumber yang menyampaikan makalahnya pada acara terseut. Yaitu, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin., MA., Prof. Sofyan Effendi, MPA, PhD, Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., Dr. Maruf Cahyono, SH., MH; serta Dr. Ma’mun Murod, M.Si.

Pada kesempatan itu, Hidayat mengingatkan, bahwa 5 Juli bertepatan dengan hari digelarnya Seminar Nasional, memang memiliki arti penting bagi bangsa dan negara Indonesia.

Karena pada 5 Juli 1959, Presiden pertama Ir. Soekarno mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit tersebut antara lain berisi tidak berlakunya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.