Pulangnya Para Pejuang Berkumpul dengan Keluarga Menginspirasi Hari Keluarga Nasional

Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang jatuh pada 29 Juni sudah diperingati sejak tahun 1993, yang diresmikan oleh Presiden Soeharto untuk mengingatkan Bangsa Indonesia akan peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 29 Juni 1949, dimana Belanda dan sekutunya menyerahkan kedaulatan Indonesia secara utuh kepada Pemerintah Indonesia yang sah, dan para pejuang kembali pulang ke Keluarganya.

Sekalipun Indonesia sudah mendeklarasikan Proklamasi Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan terlepas dari penjajahan Jepang, yang juga sudah menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya dalam perang Pasifik. Namun Belanda masih ngotot dan tidak mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia yang dideklarasikan Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

Belanda melakukan Agresi dihampir seluruh wilayah Indonesia, untuk memberi kesan kepada Dunia bahwa Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda yang didukung sekutunya.

Cermati Masalah Stunting di Ponorogo, Menko PMK Minta Pernikahan Sedarah Dihentikan

Terbentuknya suatu Negara dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu konstitutif dan deklaratif. Keberadaan suatu Negara tidak cukup dengan pernyataan Proklamasi, adanya konstitusi, wilayah, rakyat dan Pemerintahan. Tetapi juga perlu unsur Deklaratif.

Unsur deklaratif adalah pengakuan dari negara lain. Sekalipun ini bukan unsur mutlak, namun secara politik dan hubungan Internasional antar Negara menjadi hal penting.

Pada 18 Agustus 1945, Indonesia sudah memiliki Konstitusi (UUD 1945), Wilayah, Rakyat dan Pemerintahan yang dipimpin Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.

Ada 6 negara yang pertama sekali mengakui Kemerdekaan RI, yaitu Mesir (Mengakui pada 22 Maret 1946), Suriah (mengakui dan sukses berjuang diforum PBB 1947 agar Belanda menghentikan Agresi di Indonesia), Lebanon (29 Juli 1947), Yaman (3 Mei 1948), Arab Saudi (1948) dan negara pertama di Erofah yang mengakui adalah Vatikan (6 Juli 1947). Bangsa Palestina tercatat yang pertama menyambut kemerdekaan Indonesia, namun bukan sebagai Negara karena belum menjadi Negara.

Pengakuan yang cepat atas Kemerdekaan RI membuat perlawanan dari dalam wilayah Indonesia semakin kuat dan terorganisir menghadapi agresi Belanda dan sekutunya yang masuk lagi ke Indonesia.

Laskar dari berbagai wilayah Indonesia dan Badan Keamanan Rakyat (yang dibentuk 23 Agustus 1945) yang merupakan cikal bakal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibawah pimpinan Soedirman, Hamengkubowono dan Soeharto melakukan perang terbuka kepada Belanda di wilayah Jogya dan Jawa Tengah. Demikian pula Bung Tomo di Surabaya. Membuat Belanda hanya bisa bertahan selama 4 tahun.

Pada 29 Juni 1970 Pemerintah membentuk Badan Koordinasi KB Nasional (BKKBN) melalui Keputusan Presiden No.8 Tahun 1970. Ini adalah upaya semakin menggencar dan memperkuat program Keluarga Berencana (KB). Program ini dimaksudkan untuk mendukung Pembangunan Nasional yang diselenggarakan secara bertahap dan butuh stabilitas modalitas.

Rangkaian peristiwa terkait Keluarga disekitar bulan Juni pada tahun yang berbeda, khususnya momentum kembalinya para Pejuang kepada keluarga masing-masing, mendasari Presiden Soeharto menetapkan Hari Keluarga Nasional (Harganas) Pertama pada 29 Juni 1993.

Peringatan itu menunjukkan perhatian dan komitmen yang tinggi Pemerintah dan Rakyat Indonesia yang besar kepada keluarga.

TANTANGAN HARGANAS DI ERA TAHUN 2000AN

Harganas diera Tahun 1993 hingga tahun 2000, mencatat banyak Prestasi monumental. Selain pengakuan dan Penghargaan Internasional untuk Indonesia atas sukses Program Keluarga Berencana, dimana Total Fertility Rate (TFR) atau Rerata jumlah anak pada setiap Pasangan Usia Subur tahun 1970 adalah 5,8 maka sejak dibentuknya BKKBN dan turunnya Penyuluh KB, bekerjasama dengan PKK, Bidan di Desa dan Kader, didukung tokoh masyarakat dan tokoh agama, memberikan penyuluhan telah menurunkan secara kontinu dan bermakna TFR yang semula 5,8 menjadi 2,1 hingga 1,9 pada jelang tahun 2000.

Selain penurunan TFR, Indonesia mendapat Bonus Demografi, yaitu suatu kondisi saat penduduk usia produktif (15-64 Tahun) lebih banyak dibandingkan penduduk usia non produktif (dibawah usia 15 tahun dan diatas 64 tahun).

Di Era paska tahun 2000, yang diwarnai Reformasi, 4 kali Amandemen UUD 1945 (1999-2002), Keterbukaan berpolitik, Otonomi Daerah dan kini Pemilu langsung telah merubah karakter kependudukan.

Terjadi peningkatan TFR menjadi 2,6 sejak tahun 2002 dan bertahan stagnan selama 18 tahun, hingga TFR sedikit menurun menjadi 2,4 tahun 2017 (lihat SDKI 2002, 2007,2012, 2017). Beban Pembangunan memberat.

Harganas 2022 menghadapi dua isu terbesar yaitu Bonus Demografi dan Stunting. Kedua isu sangat bisa sewaktu-waktu berubah menjadi ancaman yang berdampak buruk kepada performans nasional.

ANCAMAN PERTAMA, BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI ANUGERAH BISA MENJADI MUSIBAH

Bonus Demografi merupakan hasil ikutan suksesnya kebijakan Pemerintah dalam Program KB Nasional yang dimulai terstruktur tahun 1970-an.

Saat itu Pemerintah dan Masyarakat berhasil dalam Program Dua Anak Cukup, berhasil menurunkan angka kelahiran sekaligus juga menurunkan angka kematian karena perbaikan fasilitas kesehatan.

Buah Bonus Demografi di Indonesia mulai terjadi pada tahun 2010 hingga 2035. Rentang waktu bonus tiap Provinsi berbeda, tergantung tingkat sukses Program KB pada era sebelum tahun 2000. Beberapa Provinsi yang tidak sukses Program KB khususnya dalam Pengendalian Penduduk dan Pengaturan kelahiran, tidak mendapat bonus Demografi.

Melimpahnya tenaga usia produktif hingga 70% dari total populasi akan meningkatkan kemandirian ekonomi keluarga, dan itu merupakan momentum dan peluang Negara memanfaatkan Devisa surplusnya karena penurunan belanja konsumsi dan subsidi, untuk melakukan Percepatan Pembangunan disemua sektor dalam waktu cepat dan segera.

Sebaliknya jika momentum ini tidak dioptimalkan untuk menjemput peluang, maka besarnya persentase tenaga tersebut menjadi ancaman.

Lintang Ronggowulan, Dosen Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengingatkan bahwa Bonus demografi adalah tantangan yang harus bisa dijawab dengan persiapan yang baik dan matang.

Besarnya jumlah komunitas usia produktif harus diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Apabila ketersediaan lapangan pekerjaan minim, maka dapat diprediksi mengakibatkan tingginya angka pengangguran, yang bisa berlanjut menjadi keributan sosial.

Bonus Demografi yang seharusnya Anugerah, bisa menjadi Musibah.

ANCAMAN KEDUA MENINGKATNYA RISIKO STUNTING

Ancaman stunting yang telah berlangsung lebih 10 tahun dengan prevalensi risiko stunting hingga diatas 30% telah menyebabkan jutaan anak Indonesia stunted, kerdil dan mengalami kemunduran kecerdasan, sehingga mereka masuk Lost Generation, atau generasi yang hilang, menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara seumur hidupnya.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita stunting mencapai 30,8 persen. Artinya satu dari tiga balita mengalami stunting.

Hasil Survei Status Gizi (SSGI) 2021 melaporkan ada penurunan stunting dari 27,7% pada tahun 2019 menjadi 24,4% pada tahun 2021. Tetapi prevalensi underweight (Berat Badan Rendah) meningkat 16,3 % jadi 17%.

Penyebab utama kasus Stunting adalah kurang gizi secara kronis dalam jangka panjang dan terus menerus. Ibu yang hamil atau menyusui sering sakit-sakitan, anemia dan kekurangan vitamin D, kekurangan asam folat. Kondisi defisiensi kronis ini menyebabkan anak-anak diantaranya mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif seperti lambat berbicara atau berjalan, hingga sering mengalami sakit.

Dengan jumlah anak Stunting yang sudah “Stunted” lebih dari 6 juta orang Indonesia merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.

Stunted baru terlihat setelah sang anak berumur 8-10 tahun. Dimana ia sudah sekolah, tampak lebih pendek dan lebih kerdil diantara temannya, dan kognitif atau kecerdasannya mendapat laporan guru, selalu tertinggal jauh dari teman-teman seusia sekelasnya.

Jika keadaan ini sudah terjadi, maka kelak menjadi Lost Generation atau menjadi generasiu yang tertinggal. Tertinggal dalam semua kompetisi dan persaingan apapun. Menjadi beban sepanjang hayat.

Brigjend TNI (Purn) DR.Dr.Supriyantoro,SpP, MARS (Mantan Dirut RSPAD/Mantan Sesjen Kemenkes) kini Ketua Umum IndoHCF mengatakan kasus stunting atau kegagalan tumbuh kembang anak akibat malnutrisi kronis di Indonesia menjadi pekerjaan besar pemerintahan Jokowi.

Target yang dituju Presiden Jokowi terbilang sangat ambisius yakni 14 persen pada tahun 2024 mendatang. Perlu menurunkan angka prevalensi stunting sampai 4% pertahun.

Kita harus optimis itu bisa dicapai. Caranya, jika seluruh komponen Bangsa memahami dan terlibat.

Presiden Jokowi telah menerbitkan Perpres nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Didalam Perpres ini BKKBN mendapat tantangan untuk menjadi Kordinator Tim Nasional.

Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh BKKBN. DR.Dr.Hasto Wardoyo Kepala BKKBN memimpin langsung. Pengorganisasian lintas sector, pelatihan 600.000 Tim Pendamping Keluarga risiko stunting yang tiap TPK terdiri dari Bidan, PKK dan Kader sudah siap melayani dan mendampingi.

Stunting tidak hanya dialami keluarga miskin, tetapi juga keluarga mampu atau berada, bahkan kejadian pada keluarga mampu bisa diatas 30% dari semua kasus stunting.

Seluruh pasangan usia subur harus paham dan mampu melakoni konsep terbaik 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) secara konsisten dimana dalam masa kehamilan (270 Hari) sang Ibu dengan dukungan suami peduli pada Gizi dan rajin kunjungan kepada Bidan. Dan selepas melahirkan konsisten memberikan Air Susu Ibu selama 2 tahun (730 Hari).

Ilmu Kedokteran, ilmu social dan juga ajaran agama, jelas dan tegas merekomendasikan setiap ibu memberikan susuannya selama dua tahun.

Upaya pencegahan dan penurunan angka stunting di Indonesia bukan hanya urusan pemerintah semata. Seluruh elemen bangsa, sekali lagi seluruh elemen bangsa harus terlibat dan berperan aktif memerangi stunting di Indonesia.

HARGANAS KE-29 TAHUN 2022

Dua tahun terakhir dengan kejadian Pandemi Covid-19 semakin memperberat upaya kita memanfaatkan Bonus Demografi dan Memutus rantai risiko Stunting. Pandemi telah menekan pertumbuhan ekonomi hingga ke level terendah. Aktifitas produksi, distribusi dan pasar menurun tajam. Banyak pusat ekonomi tutup. Pemberhentian karyawan, penurunan pendapatan, bahkan peningkatan angka kemiskinan.

Hikmah apa yang perlu kita semangati pada peringatan HARGANAS ke-29 tahun 2022 yang mengangkat tema “Ayo Cegah Stunting Agar Keluarga Bebas Stunting” dan dipusatkan di Kota Medan?.

Dikutip dari google, kita perlu tahu sedikit tentang Karakter Orang Medan, katanya Orang Medan jarang mau mengalah dalam obrolan atau diskusi. Namun ringan tangan membantu. Karakter paling menonjol adalah kebaikan mereka, mereka dikenal sangat baik hati dan gampang menolong.

Rasanya KARAKTER ORANG MEDAN ini bisa menjadi hikmah yang perlu menjadi basis upaya Indonesia untuk menggerakkan KEBAIKAN dengan semangat GOTONGROYONG menolong sesama, khususnya mereka yang berada dalam ancaman risiko Stunting.

Karakter Nasional bangsa Indonesia yang suka menolong dan Gotongroyong juga sangat berkontribusi memperbesar manfaat Bonus Demografi sebagai Anugerah dan menjauh dari Musibah.

Selamat Memperingati HARI KELUARGA NASIONAL Ke-29 Tahun 2022.
Jakarta, SunterJaya 22 Juni 202

Penulis: Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes
*) Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Mantan Deputi BKKBN/ Mantan Komisioner KPHI/ Mantan Sekretaris KKI/ Kepala Pusat Promkes Depkes RI/ Ses Itjen Depkes RI/ Direktur Pelay,Kestrad Komplementer Kemenkes RI/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand/ Sekretaris Jenderal PP IPHI/ Mantan Ketua Harian MN Kahmi/ Mantan Ketua PB IDI/ Ketua PP ICMI/ Ketua PP DMI/ Waketum DPP JBMI/ Ketua PP ASKLIN/ Penasehat PP PDHMI/ Waketum PP Kestraki/ Penasehat BRINUS/ Klub Gowes KOSEINDO/ Ketua IKAL FK USU/ PP KMA-PBS/ Wakorbid-1 DPP IKAL-Lemhannas. Pendiri dan Pengasuh media social : www.GOLansia.com dan kanal-kesehatan.com

Tim Pendamping Keluarga, Ujung Tombak Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia


Artikel ini bersumber dari www.jitunews.com.