TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekosistem hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang memiliki cadangan karbon tertinggi di dunia dan sangat penting dijaga sebagai satu di antara upaya untuk mengatasi masalah pemanasan global.
Masyarakat yang bermukim di sekitar area hutan gambut berperan utama dalam menjaga kelestarian hutan, dan upaya konservasi seperti apapun tidak akan efektif tanpa peran serta mereka.
Melalui Katingan Mentaya Project (KMP), PT Rimba Makmur Utama (RMU) bekerjasama dengan masyarakat untuk memberikan alternatif cara bercocok tanam yang lebih ramah lingkungan, yakni tanpa membakar dan tanpa menggunakan bahan kimia di desa-desa seputar sungai Katingan dan Mentaya.
RMU, mitra dan warga bahu membahu memberikan solusi bagi para petani untuk terus mempertahankan dan meningkatkan penghasilannya melalui cocok tanam, sambil memastikan bahwa ekosistem hutan tetap terjaga.
Dalam program ini, petani diberi pelatihan mengenai cara bertani yang berkelanjutan, dan mendapat akses ke pendanaan mikro yang disiapkan oleh RMU.
Selama ini pembukaan lahan yang sering dilakukan, yakni dengan metode slash and burn (babat dan bakar) sehingga berisiko terjadinya kebakaran hutan yang lebih luas.
Lahan yang dibuka dengan cara dibakar atau dengan menggunakan bahan kimia tanpa kendali akan kehilangan kesuburannya dalam jangka panjang, sehingga tidak akan efektif lagi untuk kegiatan cocok tanam, sehingga petani terpaksa membuka lahan baru.
Aliansyah, seorang petani sayur dan buah dan peserta program Sekolah Tani Agroekologi adalah salah satu contoh petani yang sudah menikmati keuntungan dari hasil panen pertanian organik yang dipraktekkanya di desa Babaung, Kecamatan Pulau Hanaut, Kotawaringin Timur.
Ia bercocok tanam jeruk, kacang panjang, cabai dan beberapa jenis sayuran lain.
“Sebelum tahun 2020, saya bercocok tanam secara non-organik, dan hasil yang saya dapat jauh di bawah harapan. Kondisi tanah yang rusak akibat bahan kimia yang dipakai terus menerus menyebabkan modal yang harus saya keluarkan untuk perawatan mencapai lebih dari dua kali lipat dari hasil panen waktu itu,” katanya.
Baca juga: Kementan Sarankan Petani Bengkulu Ikut Program AUTP Antisipasi Gagal Panen
General Field Manager RMU Taryono Darusman mengatakan, melalui cara bertani tanpa bakar dan tanpa kimia lahan yang dibuka serta dikelola secara ramah lingkungan memang tidak memberikan hasil yang instan namun akan dapat terus digarap dan memberikan hasil yang berkelanjutan.
“Sehingga dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan bagi petani. Petani tidak perlu membuka lahan baru , dan ekosistemnya pun akan tetap terproteksi,” kata Taryono dalam keterangannya, Sabtu (2/7/2022).
Bagi petani, kata dia mengubah cara bertani yang sudah lama diterapkan menjadi cara bertani yang lebih ramah lingkungan memang bukan hal yang mudah.
“Dibutuhkan pendekatan dan proses menyeluruh untuk membangun pemahaman bahwa cara bertani TBTK adalah yang paling aman untuk keberlanjutan mata pencaharian petani dan keberlanjutan ekosistem,” katanya.
Ditambahkan Taryono, sekitar 800 petani dari 16 desa telah berinisiatif mempraktekkan cara membuka lahan dan bercocok tanam secara berkelanjutan, yakni tanpa membakar dan tanpa memakai bahan kimia dengan lahan garapan seluas sekitar 780 hektar.
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.