TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perempuan dan budaya menjadi satu tema diskusi dalam Festival Literasi dan Literatur Jali-Jali Fest 2022, yang digelar di Sarana Square, Tebet, Jakarta Selatan, pada 3-7 Agustus 2022.

Dipandu Felix Nesi, diskusi ini menghadirkan narasumber Kanti W Janis, Pendiri Baca di Tebet yang juga merupakan Kurator Indonesia Writers Inc, serta Athika Batangtaris, Local President JCI Batavia.

Perempuan dan budaya menjadi hal yang tak terpisahkan.

Sejak jaman dahulu perempuan telah ambil bagian dalam sejarah Indonesia, bahkan memberkan kontribusi besar dalam menciptakan, memperjuangkan, serta melestarikan budaya secara turun temurun.

Kanti W Janis menjelaskan, budaya adalah cara hidup, yang membentuk karakter manusia.

Dimana perempuan menjadi bagian dari budaya karena menentukan dan memulai banyak hal misalnya tradisi bertani maupun budaya perilaku.

Baca juga: Akademisi: Digitalisasi Budaya Bisa Jadi Peluang untuk Wujudkan Kreativitas  

“Sebelum adanya cocok tanam, manusia mencari makan dengan berburu dan berpindah-pindah tempat yang biasanya dilakukan oleh para lelaki, akhirnya perempuan yang tinggal di rumah memulai untuk bercocok tanam.”

“Contoh lainnya seorang Ibu yang mengajarkan anak-anaknya bagaimana berperilaku, karena budaya sebenarnya adalah cara hidup bagaimana kita membawa diri kita, bahkan kebaya dan kain yang saya pakai ini karena saya melihat nenek saya berkebaya, kain yang saya pakai ini bahkan milik nenek saya, sudah turun-temurun,” kata Kanti.

Sementara itu, dalam menjaga dan melestarikan budaya, perempuan mengalami banyak tantangan.

Athika Batangtaris, Local President JCI Batavia mengungkapkan, perempuan terkadang dipandang sebelah mata dan hanya menjadi pajangan, di tengah budaya patriarki yang masih kental di Indonesia.

Baca juga: Wapres Maruf Minta Seniman Muslim Bantu Bentengi Bangsa dari Budaya Destruktif

“Eksistensi perempuan dalam budaya seringkali dikerdilkan, padahal tanggung jawab perempuan dalam budaya sangat besar, karena perempuan seringkali diharuskan menjadi contoh dalam bersikap, berpakaian, bertindak, tidak boleh keluar dari norma-norma,” kata Athika.

Budaya yang juga termasuk didalamnya perilaku menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap sendi kehidupan manusia baik dalam hidup sehari-hari, berorganisasi maupun dalam lingkup pekerjaan.

Menurutnya, terkadang perempuan menerima perlakuan tak menyenangkan karena dianggap tak setara dengan kaum laki-laki.

“Karena perempuan saya dianggap lemah, namun di satu sisi saya juga dianggap menjadi pesaing oleh salah satu laki-laki rekan kerja saya, ia mencoba menjatuhkan saya dengan berbagai cara termasuk mencoba menjebak saya dengan narkoba, namun hal tersebut bisa saya lewati,” kata Athika.

Menutup diskusi perempuan dalam budaya, Kanti dan Athika sepakat agar perempuan dan laki laki dapat setara dalam berbudaya, mendahulukan kemanusiaan, masyarakat juga semakin mempelajari kebudayaan yang ada di Indonesia untuk menghilangkan prasangka dan mengembalikan adat istiadat luhur bangsa yaitu gotong-royong dan toleransi.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.