Kasus Jombang, Pemerintah Batal Cabut Izin Pesantren Shiddiqiyyah

JawaPos.com – Julianto Eka Putra, pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Batu, Jawa Timur, akhirnya ditahan di Lapas Kelas I Malang kemarin. Terdakwa kasus pencabulan terhadap siswi-siswinya itu dijemput paksa oleh jaksa setelah majelis hakim mengeluarkan surat penetapan penahanan.

Kepala Kejati Jatim Mia Amiati menyatakan, surat tersebut dikeluarkan hakim merespons permohonan jaksa penuntut umum untuk menahan terdakwa.

Menurut Mia, pihaknya memohon agar terdakwa ditahan setelah Julianto mengancam korban-korbannya yang menjadi saksi dalam persidangan. ”Sewaktu persidangan, saksi-saksi di-WhatsApp. Dia membujuk korbannya, dijanjikan fasilitas materi sehingga ada orang tua yang minta anaknya mencabut kesaksian,” kata Mia kemarin (11/7).

Dia menegaskan, jaksa penuntut umum sebenarnya sudah berusaha menahan terdakwa setelah mengetahui intimidasi tersebut. Namun, kewenangan penahanan ada pada hakim, bukan jaksa. Karena itu, jaksa lantas mengirim surat permohonan penahanan kepada hakim. Namun, beberapa kali permohonan jaksa tidak diakomodasi hakim. Mia mengatakan bahwa pihaknya tidak menyerah. Dia terus berupaya memohon penahanan. Hingga akhirnya keluarlah surat penetapan penahanan terdakwa dari majelis hakim setelah 19 kali sidang.

Dalam sidang pekan depan, jaksa akan membacakan tuntutan terhadap terdakwa. Namun, Mia mengungkapkan, pihaknya tidak bisa menuntut hukuman maksimal seperti kebiri maupun hukuman mati. Sama kasusnya seperti Bechi di Jombang, perbuatan terdakwa dilakukan sebelum peraturan kebiri maupun hukuman mati dibuat pada 2020.

Mia menyatakan, pihaknya memang tidak menahan Julianto saat pelimpahan dari penyidik ke penuntut umum. Alasannya, Julianto masih bersikap kooperatif. Namun, jaksa penuntut umum akhirnya berubah pikiran setelah mengetahui Julianto kerap berulah ketika persidangan. ”Saat persidangan, beberapa kali terdakwa bikin masalah dengan mengintimidasi saksi-saksi yang jadi korban. Ada sembilan saksi korban yang mengalami kekerasan seksual oleh terdakwa,” ujar Mia.

Penahanan terhadap terdakwa berjalan alot. Julianto menolak saat jaksa penuntut umum datang ke rumahnya di perumahan elite kawasan Surabaya Barat. Tiga kompi polisi dari Polda Jatim turut membantu eksekusi. Julianto akhirnya diangkut dan dijebloskan ke Lapas Lowokwaru.

Dari pantauan Jawa Pos Radar Malang, rombongan jaksa yang membawa Koh Jul, sapaan Julianto, tiba di Lapas Lowokwaru pukul 17.02 dengan menaiki Toyota Kijang Innova AD 8869 MU. Julianto terlihat mengenakan batik abu-abu yang biasa dia kenakan ketika sidang. Julianto sudah menjalani rapid test antigen. Dia masuk ke blok tahanan dengan dikawal dua jaksa berbadan besar. Tangannya tidak diborgol. Kajari Batu Agus Rujito menyatakan, Julianto bersifat kooperatif. ”Langsung kami bawa ke sini,” katanya di depan lapas. Agus menambahkan, penahanan itu merupakan ketetapan dari majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Malang yang turun sekitar pukul 12.30.

Julianto masuk sel pengenalan lingkungan (penaling). Itu berlangsung selama dua pekan. Setelah itu, dia harus mengikuti tata tertib yang berlaku di lapas. Tidak ada pembedaan blok penahanan. ”Tetap campur dengan tahanan kasus lain,” ujar Kalapas Lowokwaru Heri Azhari. Ada tiga tahanan yang berada dalam satu sel isolasi.

Heri melihat Julianto tidak berada dalam keadaan yang kurang sehat. Tidak terlihat stres atau mengalami down. Selama sepekan berada di sana, Julianto hanya bisa dikunjungi kuasa hukum. Keluarga baru bisa mengunjunginya pekan depan.

Seperti diketahui, pada 20 Juli mendatang, Julianto menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan. Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa momen itu terlambat. ”Tapi, kami apresiasi hakim dan kejaksaan,” ujarnya. Hal itu merupakan harapan bagi para korban yang ditanganinya selama ini. Menurut dia, penahanan tersebut merupakan kabar baik bagi para korban Julianto. Terlebih, mereka merasa tidak adil dengan pasal yang hukumannya di atas lima tahun, tapi tidak ditahan.

Kasus Jombang

BEROPERASI LAGI: Pesantran Shiddiqyah, Ploso, Jombang, kini kini boleh beroperasi lagi. (JAWA POS RADAR JOMBANG)

Moch. Subchi Azal Tsani bisa sedikit lega karena tidak akan dihukum kebiri. Pria yang akrab disapa Bechi itu mencabuli korbannya pada 2017 sebelum ada peraturan tentang hukuman kebiri. Hukuman kebiri baru diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Kebiri dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hal tersebut disampaikan Kepala Kejati Jatim Mia Amiati kemarin (11/7). Selain itu, dari sekian banyak santri yang disebut pernah menjadi korban Bechi, hanya satu orang yang tercatat sebagai korban dalam dakwaan jaksa penuntut umum. Korban itu mantan santri yang sudah dikeluarkan dari Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, sehingga berani bersuara. Santri-santri lain yang menjadi korban memilih bungkam. Mereka enggan menjadi saksi.

”Di sini yang bisa kami jadikan saksi dalam pemberkasan penyidik hanya satu karena (korban) yang lain menarik diri. Kami sudah berusaha agar perkara ini betul-betul bisa diproses,” kata Mia. Meski begitu, jaksa penuntut umum akan membuka pintu seluas-luasnya bagi korban lain yang nanti berubah pikiran dan berani bersaksi. Kesaksian korban-korban lain cukup penting untuk mendukung jaksa penuntut umum menjatuhkan tuntutan maksimal kepada Bechi.

”Nanti dalam pemeriksaan di persidangan bisa saja ada alat bukti baru atau saksi tambahan yang bisa memperberat. Kami akan memohon kepada majelis hakim agar keterangannya bisa didengarkan dalam persidangan apabila ada saksi tambahan,” tuturnya.

Kejati Jatim telah melimpahkan berkas perkara Bechi ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Pelimpahan itu berdasar perintah Mahkamah Agung (MA) yang meminta perkara disidangkan di Surabaya daripada di Jombang karena faktor keamanan. Bechi dijadwalkan menjalani sidang pertama pada Senin (18/7) pekan depan dengan agenda dakwaan dari penuntut umum.

Sementara itu, pencabutan izin pesantren bernama lengkap Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah tersebut ternyata tidak berjalan lama. Seperti diketahui, pencabutan izin pesantren disampaikan Kemenag pada 7 Juli lalu. Kemarin (11/7) Kemenag mengumumkan Pesantren Shiddiqiyyah bisa kembali beroperasi secara normal.

Normalisasi perizinan Pesantren Shiddiqiyyah itu disampaikan Menko PMK sekaligus Menteri Agama ad interim Muhadjir Effendy. ”Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah yang berada di Jombang, Jawa Timur, dapat beraktivitas kembali seperti sedia kala,” kata Muhadjir.

Mantan Mendikbud itu menjelaskan, dirinya sudah meminta Plh Sekjen Kemenag Aqil Irham untuk membatalkan rencana pencabutan izin operasional pesantren tersebut. Dengan kebijakan baru itu, para orang tua santri bisa mendapat kepastian. Yaitu, kepastian status putra dan putrinya yang sedang belajar di Pesantren Shiddiqiyyah. ”Begitu juga para santri bisa belajar dengan tenang,” ujarnya.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.