TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dinilai tepat, lantaran banyak orang-orang yang mampu ikut menikmati subsidi hingga membuat beban APBN membengkak.
Akademisi Universitas Paramadina Eisha M. Rachbini mengatakan, BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar saat ini membuat beban APBN makin membengkak, di mana anggaran subsidi energi ini bisa naik 229 persen menjadi Rp 502 triliun.
Untuk itu, kenaikan harga BBM bersubsidi sangat tepat karena banyak orang yang mampu turut menikmati subsidi buat orang kurang mampu ini.
“Subsidi selayaknya harus diterima oleh masyarakat miskin, namun subsidi BBM ini faktanya juga diterima masyarakat mampu. Hanya 20 persen dari BBM bersubsidi yang dikonsumsi oleh masyarakat kurang mampu (40 persen pendapatan bawah). Jika BBM bersubsidi tetap harganya, sementara harga minyak dunia masih tetap tinggi, maka APBN pengeluaran bisa jebol,” kata Eisha Rachbini, dalam keterangan yang diterima, Sabtu (27/8).
Di sisi lain, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini berharap agar pemerintah hati-hati dalam menyusun kebijakan.
Sebab, naiknya BBM bersubsidi ini juga akan membuat harga-harga ikut naik, dan dipastikan daya beli masyarakat akan menurun sekaligus pertumbuhan ekonomi pasti melambat.
Baca juga: Bakal Bebani Rakyat, PDIP Jabar Dukung Presiden Jokowi Tidak Naikkan Harga BBM Bersubsidi
“Kenaikan BBM bersubsidi ini juga bisa menyebabkan kenaikan harga-harga lainnya seperti bahan pokok dan meningkatkan inflasi. Daya beli masyarakat bisa turun dan ini perlu hati-hati, inflasi juga bisa berdampak pertumbuhan melambat,” ujarnya.
Dikatakan Eisha, saat ini kuota BBM pertalite sudah mencapai 70 persen dari total yang dialokasikan sampai dengan akhir tahun, dengan kata lain, untuk memastikan ketersediaannya perlu meningkatkan jumlah quota.
“Ketersediaan BBM ini juga sangat penting, jika langka maka perekonomian juga akan sulit. Dengan harga minyak dunia yang tinggi, sebagai importir minyak ketika harga BBM subsidi rendah, pengguna BBM nonsubsidi banyak yang beralih ke BBM subsidi, ini yang membuat beban APBN untuk energi semakin besar,” ucapnya.
Dijelaskan Eisha, pemerintah kini dihadapkan dengan agenda-agenda pencapaian yang harus sesuai dengan rencana dan target, seperti defisit anggaran yang harus dijaga.
Selain itu, memastikan agenda pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat juga perlu berjalan, misalnya menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang baik, mencegah stunting, dan lain-lain.
“Memang anggaran untuk masyarakat miskin ini perlu dipastikan benar-benar manfaatnya, dibandingkan mengeluarkan subsidi energi yang tidak tepat sasaran penerimanya, namun membuat pengeluaran APBN membengkak,” katanya.
Lebih lanjut, dia menyarankan agar pemerintah perlu mengurangi subsidi energi yang tidak tepat sasaran, karena subsidi tersebut ikut dinikmati oleh masyarakat mampu.
Untuk mengurangi beban APBN dan menjaga defisit APBN maka perlu kenaikan harga BBM bersubsidi.
“Kenaikan harga BBM subsidi bisa menggerus daya beli masyarakat yang belum pulih, terutama masyarakat miskin dan rentan miskin masih belum kembali daya belinya, sehingga perlu adanya bantalan sosial bagi masyarakat yang miskin dan rentan miskin tersebut, untuk menjaga daya beli mereka,” pungkasnya.
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.