Memotret Fenomena Sejarah dan Kritik Sosial lewat Festival Musikal Indonesia 2022

Selama dua hari, panggung Ciputra Artpreneur menjadi pusat perhatian pekan lalu. Silih berganti, tokoh-tokoh sejarah bermunculan di hadapan penonton. Berbalut musikal, para lakon menyuguhkan pementasan apik yang dikemas dengan perspektif tidak biasa.

KEN DEDES mewarnai hari kedua festival yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut. Pada hari yang sama, pementasan berjudul Gie, Sembilan Sembilu, dan Tahta Mas Rangsang juga membius para penonton. Sehari sebelumnya, FMI 2022 menampilkan tiga lakon. Blood Brothers, Teka Iku Bo’A Ga’I, dan Dien.

Ara Ajisiwi adalah Ken Dedes di panggung musikal. ”Ken Dedes ini ikonik banget. Tapi karena tertekan itu aku malah jadi nggak ke mana-mana. Kayak takut salah,” kata perempuan 22 tahun tersebut kepada Jawa Pos.

Pada 21 Agustus itu, Ken Dedes memang tidak menjadi satu-satunya tokoh sentral dalam pementasan. Selain Ken Arok, ada Ken Umang. Direktur FMI Rusdy Rukmarata yang juga sutradara menyebut daya perempuan sebagai sudut pandang utama lakonnya. Perempuan bukan kaum lemah yang hanya pasrah ketika tertindas. Fenomena itu dihadirkan dalam wujud Ken Umang yang secara historis adalah selir Ken Arok.

”Ketika ruang gerak wanita dibatasi, dia punya kekuasaan yang lebih. Bahkan cukup kuat untuk mengatur laki-laki di sekelilingnya,” kata Rusdy tentang pementasan oleh Sanggar Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company itu.

Executive Produser EKI Dance Company Aiko Senosoenoto mengatakan bahwa lakon tersebut merupakan interpretasi tim kreatifnya. Karena itu, alurnya tidak sama persis dengan roman epik yang berasal dari Kerajaan Singosari tersebut. Namun, tema besarnya tetaplah pada mimpi, gairah, dan ambisi manusia. ”Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini,” ungkapnya.

Karena kali ini yang disuguhkan adalah pementasan musikal, pemilihan tokoh-tokoh pun harus mempertimbangkan unsur-unsur lain, kecuali akting. Yakni, vokal dan tari. Persona para tokoh juga menjadi nilai tambah karena semua karakter yang hadir di atas panggung sudah dikenal masyarakat. Maka, penting bagi para penampil mementaskan tokoh mereka sebaik-baiknya.

SOROTAN: Nala Amrytha memerankan Ken Umang. Selir Ken Arok itu menjadi simbol perempuan yang berdaya. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)

”Tentu kami melakukan trial and error. Makanya butuh waktu agak panjang,” kata Aiko.

Nala Amrytha, pemeran Ken Umang, mengatakan bahwa latihan bergulir sejak Mei. Tahap pertama adalah workshop skrip pementasan dan latihan akting. Bulan berikutnya barulah para penampil mulai menggarap tarian dan vokal. Karena sebagian besar penampil punya latar belakang sebagai penari, latihan tahap kedua pada Juni relatif lebih lancar.

”Untuk menampilkan Ken Umang itu butuh kerja kolektif,” kata Nala. Perempuan 27 tahun itu juga mau tidak mau berkenalan dengan Ken Umang. Dia mengeksplorasi banyak buku dan literatur agar bisa menjiwai tokohnya. Itu dilakukan sebelum latihan pertama pada Mei berlangsung. Total, dia butuh waktu sekitar lima bulan agar bisa menjadi Ken Umang.

Selain berlatih secara mandiri untuk menjiwai tokoh, para penampil dituntut cepat beradaptasi dengan tim besar. ”Harus sering-sering latihan bareng memang. Untuk tim vokal dan koreografer kerja samanya solid. Misalnya, ada koreografi yang nggak pas atau mengganggu vokal itu bisa diganti,” terang putri pasangan Rusdy dan Aiko itu.

Kerja keras para penampil di atas pentas membuahkan hasil yang memuaskan. Ara, khususnya, merasa lega. Apalagi, antusiasme penonton sungguh di luar ekspektasi.

Rangkaian festival itu juga mendekatkan komunitas teater dan seni yang satu dan lainnya. ”FMI ini menurut aku berasa banget vibes-nya. Karena masyarakat juga sudah kangen kali ya untuk bisa nonton langsung pertunjukan,” kata Ara seusai pementasan. Rencananya, FMI menjadi agenda tahunan Kemendikbudristek dengan menggandeng komunitas-komunitas.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.