Badan gatal-gatal, dan jadi incaran petugas Satpol PP sudah menjadi makanan sehari-hari bagi manusia silver. Meski begitu, orang-orang yang mewarnai tubuhnya dengan cat berwana perak itu tidak merasa kapok. Alasannya, ada pundi-pundi yang menjanjikan untuk “berkarya” di Ibu Kota Jakarta.

TAZKIA ROYYAN HIKMATIAR, Jakarta

TAUFIK Irawan bersama kakaknya, Ahmad Azhar, sengaja menceburkan diri sebagai manusia silver sejak dua tahun belakangan ini. Tepatnya sejak pandemi covid-19 melanda pada 2020. Mereka menganggap “profesi” itu cukup menjanjikan dan bisa membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Rabu (20/7) siang, JawaPos.com bertandang ke rumah dua manusia silver tersebut. Lokasinya di gang sempit, Jalan Haji Leman, Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bau busuk dari selokan seperti sambutan selamat datang bagi yang melintas di gang di Jalan Haji Leman.

Siang itu, Ahmad Azhar yang memiliki nama jalanan, Boheng, bersama adiknya, Taufik, sedang membuat ramuan cat silver yang akan dibalurkan ke tubuh mereka. Ramuannya terdiri atas cat sablon seukuran botol minuman energi dan minyak goreng curah. “Satu cat satu orang, minyak seperempat kilogram. Dipakaikan minyak itu biar klimis, biar kelihatan bening,” ujar Boheng sambil mengaduk campuran bahan cat berwarna silver.

Ahmad Azhar, 23, bersama adiknya Taufik Irawan, 8, melumuri seluruh badannya mengunakan cat sebelum menjadi manusia silver. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Untuk mengecat satu tubuh manusia silver, mereka merogoh kocek Rp 23 ribu. Beli cat sablon Rp 20 ribu dan minyak goreng Rp 3 ribu. Total untuk mereka berdua menghabikan Rp 46 ribu. Bila sudah selesai beroperasi, kedua bocah itu membilas diri dengan sabun mandi, sampo, dan sabun cuci piring.

“Paling sama buat bilasnya aja. Itu pakai sabun mandi, sampo, sama sunlight,” tambah pria yang kini berusia 23 tahun itu yang diamini Taufik yang kini berusia delapan tahun.

Sehari-hari Taufik dan Boheng beroperasi di perempatan lampu merah kawasan Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan. Seperti di Bintaro Plaza, Pondok Pinang Center, Organon.

Kebetulan siang itu Boheng dan Taufik yang bisasa disapa Opik sedang melumuri tubuhnya dengan cat silver. Ketika di bagian wajah, mereka seperti mencuci muka dengan cat. “Biasa aja. Nggak gatel-gatel,” ujar Opik.

Boheng menyadari bahwa cat yang dikenakan rekan-rekannya sesama manusia silver sangat berbahaya terhadap kulit. Namun mereka tidak bisa memilih. Tetap saja melakoni kegiatan itu demi mendapatkan pundi-pundi. “Banyak teman yang gatal-gatal. Penyakit kulit. Soalnya bahan campuran bukan buat kulit,” jelas Boheng. Sekali turun ke jalan satu orang bisa menghasilkan Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu.

Meski menjalani kegiatan sebagai manusia silver dianggap mengganggu masyarakat, namun Boheng dan Opik mengaku tidak terpaksa. Bahkan orang tua pun tidak pernah menyuruh. “Tapi, ya, pengin hidup mandiri aja,” kata Boheng. Sedangkan Opik beralasan ingin ikut membantu kakaknya.

Diciduk Satpol PP

Ahmad Azhar, 23, bersama adiknya Taufik Irawan, 8, membasuh badanya menggunakan air dan sabun usai berkeliling ngamen menjadi manusia Silver di kawasan Jakarta. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Manusia silver di Ibu Kota Jakarta begitu ramai sejak setahun terakhir. Mereka hadir di perempatan jalan atau di titik macet. Ramainya manusia silver membuat aparat Satpol PP DKI Jakarta melakukan razia sejak beberapa bulan belakangan ini. Boheng mengaku temannya banyak yang tertangkap Satpol PP.

Agar tidak tertangkap, Opik dan Boheng mengakali petugas dengan menjadi pengemis atau pengamen di kawasan permukiman. Bukan di jalan raya. “Atau sesekali gantian jadi pengamen gitu. Soalnya kalau ngamen, kan, lebih gampang kaburnya. Bisa melebur jadi warga biasa. Tinggal diumpetin gitarnya. Kalau jadi silver, ya, pasti ketahuan,” jelasnya.

Sepintar-pintarnya menghindar dari petugas, dua bersaudara itu tetap saja kena tangkap oleh petugas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S). Pengalaman itu dialami pada Juni lalu di lampu merah PVC Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ketika itu Boheng sedang mengamen sekitar pukul 11.30 WIB. Bukan sedang menjadi manusia silver. “Dikurung sampai tiga hari dua malam,” kenang Opik. Beruntung saat itu Opik tidak sedang ikut mengamen. Kebetulan Opik sedang sekolah.

Lebih lanjut, Boheng mengaku tak melakukan apa-apa ketika ditahan. Dia langsung dibebaskan ketika memenuhi beberapa persyaratan dokumen. “Alhamdulillah karena kita mahasiswa mudah jadi minta tanda tangan kaprodi,” jelasnya.

Setelah diciduk P3S, sebetulnya Boheng mengaku sempat kapok jadi manusia silver dan pengemis. Apalagi saat mengingat kejadian kakaknya yang melakoni manusia silver meninggal ketika dikejar satpol PP.

Ahmad Azhar, 23, bersama adiknya Taufik Irawan, 8, menjalani profesi sebagai manusia silver. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

“Pengalaman-pengalaman buruk sudah dialami Boheng. Meskipun begitu, dia tetap merasa tak punya pilihan dan tetap melanjutkan pekerjaan itu. “Ya, mau gimana lagi, ya,” ujarnya.

Memang, menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil di daerah DKI Jakarta sudah dilarang. Hal itu tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta pasal 40. Selain itu, dalam pasal 61 ayat 1 bahkan melarang juga orang untuk membeli kepada pengasong ataupun memberi uang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Jika aturan tersebut dilanggar, sanksinya ancaman pidana kurungan 10-60 hari atau denda Rp 100 rb hingga Rp 20 juta.

Di sisi lain, negara juga diwajibkan memberikan perlindungan kepada anak–anak. Dalam UU nomor 35 tahun 2014 disebutkan bahwa negara harus memberikan tanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasas, status hukum, urutan kelahiran, dan/atau mental. Selain itu, negara dan pemerintah juga diwajibkan untuk menjami perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.