Bersenang-senang dengan Bersepeda, Bersepeda sembari Berbagi Kesenangan

Para anggota Komunitas Sumber Senang gowes Bandung–Denpasar sembari membantu puluhan pedagang bersepeda yang mereka temui. Tetap bekerja seperti biasa secara daring di sela waktu istirahat.

FERLYNDA PUTRI, Jakarta

DARI Suyud, dari Bu Paini, dan puluhan pedagang yang mereka temui sepanjang jalur gowes Bandung–Denpasar, Pradipta Dirgantara dkk seperti disadarkan: bahwa buku memang tak semestinya dinilai dari sampul. Menggemari sepeda, ternyata asumsi mereka juga bisa salah tentang orang-orang yang tiap hari menggantungkan hidup pada sepeda.

”Semula saya mengira bahwa mereka yang berjualan dengan sepeda itu karena keterpaksaan. Jadi, mereka pasti banyak mengeluh akan kerasnya hidup. Tapi, ternyata saya salah,” kata Pradipta kepada Jawa Pos.

Pada Juni lalu, Pradipta dan 10 kawannya yang tergabung dalam Komunitas Sumber Senang bersepeda bersama dari Bandung ke Denpasar. Sepanjang jalur sejauh 1.185 kilometer itu, sebagaimana nama komunitas mereka, belasan pegowes tersebut berbagi kegembiraan dengan lebih dari 20 pedagang bersepeda yang mereka temui.

Salah satunya, Suyud yang mereka temui di Nganjuk, Jawa Timur. Pradipta dkk memborong dagangan es potong kakek 71 tahun itu. ’’Dari Pak Suyud, kami mendapati bagaimana beliau begitu bersemangat menjajakan dagangan,” ujarnya.

Sepanjang obrolan, Suyud bercerita dengan santai, mengalir, tanpa sekali pun terdengar mengeluh. Padahal, jarak yang dia tempuh untuk mereguk penghasilan tak pendek. Dari Blitar dia naik bus, turun di Terminal Kertosono, Nganjuk, kemudian berganti sepeda pancal ke arah Nganjuk Kota. Dua kabupaten di Jawa Timur itu terpisah jarak lebih dari 70 kilometer.

”Saya bisa saja naik sepeda motor, tapi khawatir terlalu cepat, jadi nggak bisa dengar orang manggil,” kata Pradipta menirukan yang disampaikan Suyud.

Ratusan kilometer sebelumnya, di Kota Jogja, Bu Paini ringan saja bercerita bagaimana dagangan jamunya ikut terdampak pandemi Covid-19. Pendapatan menurun. ”Tapi, saya jualan dari awal memang saya niatkan tak cuma untuk nyari uang, untuk nyehatin para pembeli saya juga,” kata Paini, seperti ditirukan Pradipta.

Komunitas Sumber Senang di tengah perjalanan Bandung-Denpasar Juni lalu. (DOKUMENTASI KOMUNITAS SUMBER SENANG)

Jadilah bagi komunitas yang baru setahun bersepeda bareng itu, perjalanan ribuan kilometer tersebut tak cuma memungut kenangan akan keelokan alam di kanan-kiri jalan. Tapi, juga asupan kesadaran yang membersihkan kerak-kerak asumsi yang keliru.

Awalnya, Komunitas Sumber Senang hanya lima orang. Kemudian, jumlahnya terus bertambah sampai 11 orang sekarang ini. Mereka datang dari latar beragam, tapi dipersatukan semangat bahwa bersepeda itu bukan soal mahalnya peranti, sejauh apa turnya, dan seberapa banyak anggotanya.

Mereka senang bersepeda dan ingin membagi kesenangan itu kepada orang-orang yang mereka temui di sepanjang jalan. Itu pula yang mereka lakukan dari Bandung ke Denpasar.

Mereka menggalang dana untuk didonasikan kepada para pedagang bersepeda dengan tagar ’’BerbagiSenang’’. Bukan dengan ’’mentahan”, tapi dengan memborong dagangan mereka.

Karena itu, butuh waktu sekitar setahun untuk mewujudkan rencana tersebut. Mereka menjalani pelan-pelan, mulai menggalang dana di salah satu platform digital hingga menyuarakan ke beberapa kerabat kalau saja ada yang mau jadi donatur.

Beberapa brand ternyata tertarik untuk menjadi sponsor. ”Ini tentu sangat membantu,” kata Rizky Ramadhan, anggota Komunitas Sumber Senang lainnya.

Persiapan lain yang tak kalah penting adalah mengatur waktu. Sebab, 11 anggota komunitas memiliki pekerjaan beragam.

Selama perjalanan, beberapa orang yang bisa work form anywhere tetap menjalankan pekerjaan. Misalnya, Pradipta yang berprofesi dosen tetap menggelar pertemuan secara daring.

Komunitas Sumber Senang saat bertemu dan bercengrama dengan para pedagang bersepeda. (DOKUMENTASI KOMUNITAS SUMBER SENANG)

Lelah fisik sudah pasti tidak bisa dielakkan lagi. ”Tapi, sering ketemu anak-anak yang ngajak tos saat kami lewat itu jadi penyemangat,” ujar Rizky yang jadi pencetus pilihan rute Bandung–Denpasar sebagai nazar setelah lulus S-3 dari sebuah kampus di Jepang.

Sesampai di Banyuwangi di ujung timur Pulau Jawa, kabar datang: ayah Rizky harus dirawat di salah satu rumah sakit karena ada masalah di kaki. Rizky gontai karena kedekatan dengan ayah baru bisa terbangun justru karena mereka sering gowes bersama.

”Dan ini dikabari saudara kalau ayah masuk rumah sakit karena ada masalah di kakinya. Saya takut ketika pulang, tidak bisa bersepeda lagi dengan beliau,” ungkapnya.

Rizky sempat menangis sejadi-jadinya. Dia ingin pulang saja, mendampingi sang ayah. Tapi, sang adik yang turut dalam rombongan menenangkan. Telepon dari keluarga di rumah pun mendukungnya untuk menyelesaikan misi sampai ke Denpasar.

”Ini betul-betul perjalanan spiritual bagi saya,” bebernya.

Yang khas dari komunitas itu adalah tak punya struktur organisasi. Tidak ada ketua. Semua anggota. Kenapa demikian? Sebab, sesuai misinya, sepeda menciptakan kesenangan.

Ketika ada ketua, hubungan antaranggota akan kaku. Tidak seperti keluarga. Sehingga setiap keputusan dilakukan dengan jalan musyawarah dulu. Diambil yang terbaik.

Contohnya, ketika tidak semua anggota bisa berangkat ke Bali bersama karena harus menyelesaikan pekerjaan. Untuk mengambil jalan tengah, dua orang anggota yang tidak bisa berangkat bersama bertemu di Probolinggo, Jawa Timur. Toh akhirnya semua dapat menikmati proses perjalanan tersebut.

Ke depan mereka ingin mengadakan tur serupa lagi, mungkin ke arah barat dari Bandung. Tapi, tak ada target tertentu.

#BerbagiSenang mereka akui bikin mereka mencandu. Sebab, mereka tak hanya bisa berbagi kesenangan, tapi mereka juga mendapat banyak pelajaran kehidupan. Baik dari pedagang es potong, penjual jamu, maupun lainnya.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.