TRIBUNNEWS.COM, BALI – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar menuturkan keragaman budaya di Indonesia adalah fitrah kebangsaan yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya.
Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, Indonesia memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi, dengan 1.340 suku, 733 bahasa, 6 agama, dan puluhan aliran kepercayaan.
“Tingginya tingkat kemajemukan ini, di satu sisi menempatkan kita dalam posisi rentan terhadap ancaman perpecahan. Jika tidak disikapi dengan bijaksana, kesalahan dalam mengelola kemajemukan dapat berujung pada lunturnya kohesi kebangsaan yang dapat bermuara pada disintegrasi bangsa,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang juga di hadiri para penglisir (Raja) Puri se-Bali di Puri Ageng Blahbatuh, Gianyar, Bali, Senin (18/7/2022).
Turut hadir antara lain Kepala Dinas Potensi Maritim Angkatan Laut Laksma TNI Suradi Agung Slamet, Penglingsir Puri Ageng Blahbatuh Anak Agung Ngurah Alit Kakarsana beserta para Penglingsir Puri se-Bali.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM dan Keamanan ini menuturkan, jika merujuk pada konstitusi, amanat untuk membangun ketahanan budaya memiliki landasan yuridis yang sangat fundamental, khususnya pada pasal 32 UUD NRI 1945. Setidaknya, menyiratkan dua prinsip dasar.
Pertama, penegasan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh negara. Kedua, amanat kepada negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
“Dalam konteks pemajuan kebudayaan, globalisasi seharusnya tidak semata-mata dipandang sebagai ancaman. Tetapi, justru harus kita manfaatkan sebagai peluang bagi budaya Indonesia untuk dapat memberi kontribusi terhadap pembentukan peradaban dunia,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini memaparkan, keragaman budaya dapat dimaknai sebagai kekayaan yang justru saling melengkapi satu sama lain.
Meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk negara kesatuan, tidak lantas dimaknai bahwa keragaman budaya tersebut harus diseragamkan, tetapi diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai khazanah kekayaan bangsa.
“Dengan demikian, prinsip dan visi kebangsaan yang kita bangun harus mampu mempertemukan kemajemukan dan ketahanan budaya dalam semangat kebersamaan. Paradigma inilah yang dibangun oleh Puri Ageng Blahbatuh, yang memprakarsai untuk menghadirkan narasi-narasi kebangsaan dengan melibatkan tokoh-tokoh dan lembaga lembaga adat, melalui kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI,” urai Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia dan Ketua Umum Keluarga Besar Olahraga Tarung Derajat ini juga mengingatkan ancaman terhadap eksistensi budaya bangsa, tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal.
Dari faktor internal, kurangnya upaya untuk secara intens dan serius menghadirkan diskursus kebudayaan, turut menjadi penyebab ‘menjauhnya’ kebudayaan dari ruang publik.
“Kita pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan ketika budaya kita coba diakui sebagai budaya milik negara lain. Antara lain alat musik Sasando dari Nusa Tenggara Timur, wayang kulit dan batik dari Jawa Tengah, lagu Rasa Sayange dari Maluku, angklung dari Jawa Barat, makanan Rendang dari Sumatera Barat, termasuk juga Tari Pendet dari Bali. Dalam konteks inilah, keberadaan lembaga adat seperti halnya puri-puri di Bali, memiliki kontribusi penting sebagai pusat pengembangan kebudayaan daerah, sekaligus sebagai benteng ketahanan dan kedaulatan budaya nasional,” pungkas Bamsoet. (*)
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.