Merangkai Parade Budaya di Berbagai Kota Menuju Penetapan Hari Kebaya Nasional

Ratusan komunitas dan pemerhati budaya bergerak bersama menuju satu tujuan. Yakni, penetapan Hari Kebaya Nasional. Sebagaimana batik, kebaya merupakan identitas yang lekat dengan budaya Nusantara. Utamanya bagi perempuan Indonesia.

DIDIET Maulana, desainer sekaligus penulis buku Kisah Kebaya, menyebut kebaya adalah busana khas Indonesia yang punya makna sentimental. Bagi dia, kebaya selalu identik dengan eyang utinya. Didiet kecil terbiasa melihat eyang uti berkebaya dalam segala kegiatan. Baik acara keluarga, rapat, maupun arisan.

“Masih teringat dalam benak saya, kecantikan eyang uti setiap kali mengenakan kain dan kebaya. Juga, wangi akar cendana yang beliau simpan bersama kain batiknya,” ungkap Didiet ketika diwawancarai Jawa Pos pada Kamis (14/7). Eyang uti Didiet juga mengajarkan cara mengenakan kebaya yang benar dan memadupadankannya dengan kain dan aksesori agar serasi.

Saat diminta menggambarkan gaya busana eyang utinya, Didiet langsung menyebut kebaya kutubaru. Lengkapnya adalah kebaya brokat kutubaru yang dipadu kain batik sogan antik dengan aksesori bros emas. Melengkapi gambaran itu, Didiet menyebut rambut yang disasak, tas kulit hitam, dan selop kitten heels hitam.

DIDIET MAULANA (DIDIET MAULANA UNTUK JAWA POS)

Kenangan pemilik label IKAT Indonesia itu rupanya juga menjadi memori kolektif banyak perempuan Indonesia terhadap ibu atau eyang mereka. Adalah Lana Koentjoro, ketua umum Perempuan Indonesia Maju (PIM), yang kemudian menjadi salah satu penggagas penetapan Hari Kebaya Nasional.

Dideklarasikan di Solo pada pertengahan tahun ini, gerakan untuk mewujudkan Hari Kebaya Nasional itu lantas disambung dengan berbagai kampanye budaya di kota-kota besar lainnya. Salah satunya adalah parade kebaya di Semarang dan parade kebaya dalam rangkaian car free day di Jakarta.

Tim Nasional Pengajuan Penetapan Hari Kebaya Nasional pun terbentuk. Pendukungnya siapa saja? Ratusan komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia serta berbagai kementerian dan lembaga (K/L).

“Tim nasional dibentuk karena banyak komunitas yang sangat membantu, sangat ingin ada Hari Kebaya Nasional,” ungkap Lana kepada Jawa Pos saat berbincang pada Rabu (13/7). Dia berharap, nanti Hari Kebaya Nasional bisa diperingati tiap tahun seperti Hari Batik.

Pendiri komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI), Rahmi Hidayati, mengatakan bahwa pengakuan kebaya tidak cukup hanya dari masyarakat Indonesia saja. Tetapi harus dari masyarakat internasional juga. Karena itu ada upaya untuk mendaftarkannya ke UNESCO. ’’Yang namanya warisan, itu diturunkan. Tidak hanya dikenakan oleh yang sepuh-sepuh saja,’’ jelasnya kepada Jawa Pos saat dihubungi pada Kamis (14/7).

Rahmi juga menegaskan kampanye melestarikan kebaya bukan berarti Jawanisasi. Sebab kebaya secara turun temurun ditemukan di pulau-pulau lain selain Jawa. Termasuk di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara.

Lebih lanjut, Lana mengatakan bahwa pengakuan kebaya sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) juga akan menggerakan roda perekonomian. Itu karena kebaya selalu dipadupadankan dengan kain atau bawahan dan aksesoris lainnya. Di balik kebaya, menurut dia, ada pengrajin yang menggantungkan hidup. ”Kebaya kan padanannya kain, kain tenun, kain batik, kain songket. Aksesorisnya kalung, anting, bros, sepatu. Itu semua kan ada pengrajinnya,” urainya.

SOLO BERKEBAYA: Parade Kebaya Nusantara di Keraton Kasumanan Solo pada awal Juni lalu menandai lahirnya gerakan penetapan Hari Kebaya Nasional. (LANA KOENTJORO UNTUK JAWA POS)

Hal senada disampaikan Didiet. “Harapannya, ekosistem kreatif juga makin terangkat. Seperti pemasok kain. Mungkin nanti ada kebaya dari lurik, tenun, atau batik. Dengan begitu, kebaya nanti tidak cuma diakui, tapi juga memberikan penghidupan,” tegas perancang kelahiran 18 Januari 1981 tersebut.

Didiet menambahkan bahwa kebaya tidak eksklusif. Alias, hanya diakui legit jika dikeluarkan desainer ternama. ’’Kebaya juga bisa dihasilkan penjahit rumahan sehingga lebih memasyarakat,” imbuhnya. Dia menilai, pengakuan kebaya sebagai WBTB ibarat ’’bahan bakar” bagi upaya pelestarian.

“Tidak hanya sebagai jargon, tapi juga menghidupi dan menjaga kelestariannya. Semoga diakuinya kebaya oleh UNESCO nanti bisa menjadi semangat dan energi bagi perempuan Indonesia untuk makin giat dan sering berkebaya,” tandasnya.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : syn/fam/wan/c7/hep


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.