TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Undang Undang Nomor 23/2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara terus menuai penolakan dari sejumlah pihak.

Mereka yang menolak menilai proses dari UU tersebut minim partisipasi publik dan dibuat secara tergesa-gesa.

“Dari segi proses, pembahasan UU PSDN ini sudah bermasalah karena pembahasannya dilakukan secara terburu-buru dan minim partisipasi publik. Secara substansi dapat kita lihat kemudian diantaranya pengaturan dalam pasal 59 mengenai masalah pendanaan yang tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga APBD dan Sumber lain,” ujar Juardan Gultom, Direktur LBH Palembang.

Pernyataan Juardan Gultom tersebut disampaikan dalam diskusi Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/7/2022).

Dalam keterangan yang diterima redaksi, Juardan Gultom sangat khawatir Komponen Cadangan bisa jadi pelindung pemodal atau penguasa yang belakangan ini banyak memiliki masalah terkait perampasan tanah atau lahan warga.

Baca juga: Definisi Ancaman Terlalu Luas Hingga Pemidanaan Bagi Komcad Dinilai Jadi Persoalan Dalam UU PSDN

“Ke depannya, sangat mungkin terjadi klaim sepihak terhadap tanah atau SDA rakyat oleh negara. Selain itu kedepan akan ada ketimpangan sistem penguasaan tanah,” katanya.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan Firman Muntaqo, Dosen FH Universitas Sriwijaya yang menilai UU PSDN ini memiliki masalah dalam penataan hukumnya yang terlalu luas.

Ia mencontohkan seperti memasukkan ancaman narkotika, bencana alam, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya sebagai ancaman nasional.

“Siapa yang berhak menafsirkan ancaman sebagaimana yang didefinisikan dalam UU PSDN ini tidak jelas,” katanya.

Baca juga: Soal UU PSDN, Negara Diminta Fokus Perkuat Sistem Alusista Dibanding Melatih Sipil

Selain itu, sambungnya, UU ini juga tidak jelas menetapkan kapan sumber daya alam dijadikan Komcad atau Pendukung, apakah pada kondisi normal atau dalam kondisi tertentu seperti perang.

“UU PSDN ini juga tidak memberikan rambu-rambu kapan dan untuk kepentingan apa saja Komcad itu dapat digunakan. Jangan sampai Komcad hanya digunakan untuk kepentingan segelintir elit kekuasaan,” katanya.

Masih di tempat yang sama, Al Araf, Dofen FH Universitas Brawijaya dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, menyoroti penjelasan pemerintah yang beralasan UU PSDN ini untuk memberkuat nasionalisme dan bela negara.

Baca juga: Catatan Setara Institute Terkait Aturan Turunan UU PSDN: Lamban Merespons Sorotan

Padahal, menurutnya, bela negara harus diperkuat dalam aspek kognitif, dan tidak bisa dibuat dalam waktu 3 bulan dengan latihan militer seperti diatur dalam UU ini.

“Konstruksi bela negara tidak hanya terbatas pada keterlibatan warga negara dalam latihan dasar kemiliteran. Bela negara adalah bentuk kesadaran politik warga negara dalam melihat dan mengadvokasi isu kemanusiaan dan keadilan,” katanya.

“Mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, dosen atau guru yang mengajar dan di perguruan tinggi, aktivis HAM atau aktivis antikorupsi yang terus melakukan advokasi merupakan bagian dari bentuk bela negara,” ujarnya.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.