JawaPos.com-All England 2022, menjadi titik pijak yang sangat bertolak belakang bagi dua ganda putra Indonesia Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dan Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri.

Pada turnamen bulu tangkis tertua di dunia tersebut, Fajar/Rian langsung kandas di babak pertama. Mereka dibekap juniornya, Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin dalam straight game, 16-21 dan 20-22.

Sementara itu, Bagas/Fikri secara mengejutkan berhasil menjadi juara. Tidak diunggulkan, mereka malah tampil luar biasa. Dalam perjalanannya, Bagas/Fikri mengalahkan juara dunia 2021, ganda nomor satu dunia, dan pasangan nomor dua dunia.

Tetapi, setelah All England 2022 situasi berbalik. Dalam lima turnamen, Bagas/Fikri selalu kandas di babak pertama. Lalu di tiga turnamen, mereka hanya berhasil menjejak babak kedua.

Prestasi terbaik Bagas/Fikri setelah All England adalah menembus semifinal Korea Open 2022. Namun, pada babak empat besar, Bagas/Fikri bermain buruk dan kalah dengan skor sangat telak melawan Fajar/Rian (12-21 dan 9-21).

Bagas/Fikri saat berlatih di Tokyo Metropolitan Gymnasium jelang Kejuaraan Dunia 2022. (Humas PP PBSI)

Sebaliknya, Fajar/Rian tampil sangat konsisten selepas kekalahan menyesakkan dari All England 2022. Mereka sukses menembus tujuh final dalam sembilan turnamen. Fajar/Rian berhasil meraih tiga gelar.

Selain itu, sampai saat ini, Fajar/Rian berhasil mencatat 39 kemenangan. Itu adalah jumlah kemenangan BWF World Tour terbanyak dari semua pemain di seluruh sektor.

Pelatih kepala ganda putra Herry Iman Pierngadi kepada JawaPos.com mengatakan bahwa kunci kebangkitan Fajar/Rian adalah karena mereka memiliki motivasi internal yang kuat. Fajar/Rian ingin membuktikan bahwa mereka masih bisa bersaing dengan ganda putra-ganda putra papan atas lainnya.

Hal yang membuat Fajar/Rian terbangun adalah kekalahan di All England. Hasil itu punya bobot lebih buruk karena Leo/Daniel adalah junior mereka sendiri.

“Setelah dari All England itu saya bilang ke mereka ‘Kalau begini terus, ya kalian bisa bahaya ke depannya. Kalian mulai kesusul nih.’ Soalnya di bawah mereka, sudah pada juara semua. Mereka saja yang belum. Setelah itu mereka ternyata bisa bangkit dengan motivasi yang besar,” ucap Herry IP saat dihubungi JawaPos.com (21/8).

“Saya sih ngomong nggak banyak ya. Saya hanya menyentil saja. Dan dari pembicaraan itu, mereka mungkin kerasa. Kalau begini-begitu terus, ya nggak bisa,” imbuh pelatih yang hari ini genap berusia 60 tahun tersebut.

Motivasi kedua datang dari faktor eksternal yakni nilai kontrak. Sponsor utama Fajar/Rian, perusahaan apparel olahraga dari Jepang Yonex, sedang serius memantau performa mereka.

Jika hasil-hasil pertandingan semakin menurun, maka sesuai dengan perjanjian, Yonex akan mengoreksi nominal kontrak Fajar/Rian. Tentu saja, jika penampilan Fajar/Rian terus memburuk, maka jumlah duit yang mereka terima dari Yonex akan menurun.

“Jadi, motivasi kebangkitan Fajar/Roan memang datang dari dari beberapa faktor,” ucap Herry IP.

“Tetapi motivasi terbesar ya datang dari mereka sendiri. Padahal selama ini dalam hal persiapan, mereka ini cukup baik. Tetapi saat main, masih saja belum konsisten. Kadang-kadang bagus, kadang-kadang enggak. Tetapi kalau pedenya sudah ada, maka permainan mereka bisa stabil. Dan sekarang stabilitas itu sudah mulai terlihat.”

“Sebetulnya ya lawannya kan itu-itu saja. Nggak ada yang baru. Jadi sekarang, tergantung bagaimana me-manage pikiran,” tambah pelatih berjuluk Coach Naga Api tersebut.

Soal lain yang menjadi perhatian adalah kesalahan-kesalahan servis yang dilakukan Rian terutama dalam saat-saat kritis. Herry IP tidak menampik bahwa Rian kerap melakukan kesalahan servis.

Di pelatnas Cipayung, tim pelatih banyak membantu Rian untuk memperbaiki kualitas servisnya. Namun, Herry IP mengakui bahwa human error bisa saja terus terjadi dalam pertandingan karena faktor fokus dan konsentrasi. “Soal bagaimana mengatasi service error itu, kami akan terus berusaha menemukan solusinya,” ucap Herry IP.

Herry IP mengatakan bahwa pihaknya sangat mengandalkan Fajar/Rian untuk meraih medali di Kejuaraan Dunia 2022 yang akan berlangsung mulai besok (22/8) di Tokyo. Sebab, performa Fajar/Rian terus memperlihatkan konsistensi yang baik.

Di sisi lain, Fajar mengakui bahwa persaingan di sektor ganda putra dunia memang tidak mudah. Saat ini, di Indonesia saja, ada tujuh ganda putra yang berkompetisi dengan keras. Misalnya untuk mendapatkan kuota bermain di Kejuaraan Dunia.

“Waktu kami kalah di All England itu kami berusaha ubah pola pikirnya. Dalam arti, bagaimana bermain lebih baik setiap match-nya. Jadi, jangan berpikir untuk mencapai target yang jauh. Tetapi, kami berpikir untuk fokus dalam setiap match-nya,” ucap Fajar.

“Menurut saya itu yang lebih penting. Mengapa kami bisa mencapai tujuh final ya karena kami tidak memikirkan yang jauh-jauh. Kami hanya berpikir untuk bermain yang terbaik untuk hari esok. Itu saja sih,” tambah Fajar.

Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto saat berlaga di Indonesia Open 2022. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)

Rian menambahkan bahwa setelah kekalahan di All England, dia berusaha untuk bekerja dan berlatih dengan lebih keras. Sebab, persaingan di dalam negeri saja sudah sangat berat. Apalagi  jika berbicara dalam konsteks kompetisi di level dunia.

“Jadi memang harus fokus di setiap pertandingan, harus bisa mengontrol permainan, tidak terburu-buru, dan menggebu-gebu pengen menang. Yang penting enjoy dan bisa mengeluarkan semua kemampuan,” ucap Rian.

*

Sementara itu, Herry IP mengatakan bahwa periode buruk yang dialami Bagas/Fikri saat ini merupakan hal yang normal bagi pemain muda.

“Jujur saja, saat mereka menjadi juara All England itu rasanya surprise banget. Dan seolah-olah, setelah itu, ada tuntutan dari publik bahwa ketika ada pemain yang sudah juara All England, maka mereka nggak boleh kalah.”

“Saya hanya ingin bilang, mereka masih dalam proses untuk mencapai peningkatan-peningkatan penampilan. Dan Bagas/Fikri memang belum stabil. Jadi, belum kuat dalam menahan tekanan untuk kembali mendapatkan gelar-gelar juara yang lebih besar. Prosesnya masih panjang,” ucap Herry IP.

Herry IP menambahkan bahwa kekalahan-kekalahan pada babak-babak awal pasca All England 2022, bisa berpengaruh besar kepada mental Bagas/Fikri. Kondisi piskologis mereka menjadi terganggu.

“Setelah dari All England, ketika main di Swiss saya bilang ke mereka, ‘Kalian mulai dari nol lagi ya.’ Hal itu untuk mengantisipasi tekanan setelah kemenangan di All England,” kata Herry IP.

“Sebab saya melihat kondisi mereka drop banyak. Mulai dari konsentrasi, fokus, dan fisik. Ini akibat kekalahan-kekalahan itu. Dalam pertandingan-pertandingan tertentu misalnya saat menghadapi ganda India (Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Shetty, Red) di Swiss Open, terlihat mereka sudah nggak bisa mikir di game ketiga. Mereka sudah blank. Fisiknya dan pikirannya turun banget,” kata Herry IP.

“Tetapi memang pemain-pemain muda harus mengalami proses seperti itu. Marcus/Kevin dan Hendra/Ahsan juga mengalami proses seperti itu. Proses untuk melatih konsentrasi, tenaga, dan pikiran. Tetapi, ada yang bisa langsung juara. Ada yang tidak. Ada yang cepat dan ada yang lambat prosesnya. Fajar/Rian termasuk yang lambat. Itu saja yang bikin beda,” tambah Herry IP.

Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri ketika menjadi juara All England 2022. (BWF).

Di sisi lain, Fikri bertekad untuk mencapai hasil terbaik di Kejuaraan Dunia 2022.

“Semoga bisa juara, tapi kami tahu dilaluinya tidak mudah. Jadi step by step dulu. Kasih yang terbaik setiap pertandingan,” kata Fikri dikutip dari siaran pers PP PBSI.

“Istilahnya kami ingin hasil lebih bagus di sini. Berjuang terus dan tidak mudah menyerah. Mau menang atau kalah, tetap fight,” tambah Fikri.

Herry IP mengatakan bahwa persiapan menuju Kejuaraan Dunia 2022 sudah cukup baik. Dia sadar bahwa tekanan kepada pemainnya terutama soal fisik dan mental akan sangat besar.

Herry IP menambahkan bahwa bermain di arena besar seperti Tokyo Metropolitan Gymnasium akan sangat menantang. Karateristik arenanya, cocok untuk permainan lambat.

Shuttlecock yang digunakan juga berbeda ketimbang turnamen-turnamen lainnya. Shuttlecock di Tokyo, menurut Herry IP, lebih ringan.

“Karakternya hampir sama dengan All England. Jadi, pemain butuh tenaga yang lebih besar untuk bermain di Tokyo. Selama persiapan, kami banyak melatih kekuatan otot pemain. Selain itu, secara permainan dan teknik, pemain harus lebih menekan. Semoga saja kami bisa mendapatkan hasil terbaik,” kata Herry IP.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.