DALAM sistem presidensial, presiden dan wakil presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah presiden dan wakil presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab politik berada di tangan presiden.
 
Logika sistem presidensial berdampak pada personifikasi presiden dan wakil presiden di dalam naskah akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Naskah yang merupakan pengantar dan rasionalisasi bagi hadirnya Pasal 218 disebutkan bahwa kepala negara dan wakilnya dipandang sebagai personifikasi dari negara itu sendiri.
 
Dalam konteks ini, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ingin mengatakan bahwa siapa pun yang menghina presiden dan wakilnya, maka secara otomatis menjadi penghinaan bagi negara karena presiden dan wakilnya adalah personifikasi dari negara.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Selain persoalan personifikasi negara, dapat disaksikan bahwa terdapat beberapa argumentasi yang dihadapkan kepada kita semua terkait legitimasi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakilnya, meliputi:
1. Kepentingan/benda hukum (rechtsbelangan/rechtsgood) atau nilai dasar (basic values) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan adalah martabat/derajat kemanusiaan yang merupakan salah satu nilai-universal yang dijunjung tinggi;
 
2. Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-niai HAM/kemanusiaan, karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai-universal) oleh karena itu secara teoritik dipandang sebagai “rechtsdelict”, intrinsically wrong”, “mala per se” dan oleh karena itu pula dilarang di berbagai negara;
 
3. Penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap masyarakat/negara; hal ini termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yang terkait erat dengan nilai-nilai sosio filosofis, sosio-politik dan sosio-kultural setiap bangsa/negara;
 
4. Ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu yang sedang menjalankan ibadan dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk; simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan, bendera/lagu kebangsaan; lambang kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum pemerintah; presiden/wakil presiden; termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan (tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati.
 
5. Dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak; terebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketatanegaraan.
 
6. Karena status/posisi Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya, maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan prinsip “equality before the law” apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda (seperti terdapat dalam jenis-jenis penghinaa, pembunuhan, penganiayaan dsb.) juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip “equality before the law”.

 

Halaman Selanjutnya

Pada titik ini rupanya kritik…


Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.