Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Pemerintah Sri Lanka akan merundingkan paket utang darurat senilai 4 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dengan Pemerintah China untuk membantu Sri Lanka keluar dari krisis ekonomi.

Duta Besar Sri Lanka untuk China, Palith Kohona mengatakan, paket utang darurat tersebut termasuk jalur kredit senilai 1,5 miliar dolar AS untuk membayar impor dari China yang mencakup bahan baku yang dibutuhkan oleh industri garmen dan industri lainnya.

Dikutip dari Dailynews.lk, Jumat (29/7/2022), Sri Lanka tidak hanya berharap dapat membujuk Pemerintah China agar mengaktifkan pertukaran mata uang bilateral senilai 1,5 miliar dolar AS saja.

Namun juga negara dapat membantu membeli bahan bakar, pupuk dan pasokan lain yang sangat dibutuhkan Sri Lanka.

Kohona memaparkan, diskusi tentang bantuan keuangan dengan China saat ini masih berlangsung, namun belum ada penetapan tangal terkait pertemuan berikutnya.

Baca juga: Jepang Serahkan Bantuan Obat-obatan Tahap Pertama ke Sri Lanka

Menurutnya, China memiliki permintaan serupa yang diajukan pula oleh negara lain, maka proses ini pun cenderung melambat.

“Mungkin jika hanya Sri Lanka, maka pengambilan keputusan akan jauh lebih mudah. China menjanjikan bantuan darurat sebesar 74,09 juta dolar AS untuk Sri Lanka pada April dan Mei lalu, namun kami mencari lebih banyak lagi,” jelas Kohona.

Baca juga: Singapura Perpanjang Masa Tinggal Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa

Selain itu, yang paling penting adalah Sri Lanka mencari bantuan China untuk sektor perdagangan, investasi dan pariwisata demi membantu perekonomian negara itu dalam jangka panjang.

Perusahaan China sebelumnya telah melakukan beberapa investasi dalam proyek pelabuhan yang didukung China di Colombo dan Hambantota.

“Namun ada lebih banyak rencana investasi besar China yang terhenti karena pandemi virus corona (Covid-19). Kami juga ingin China meminta perusahaan mereka untuk membeli lebih banyak teh hitam, safir, rempah-rempah dan pakaian dari Sri Lanka serta membuat aturan impor China lebih transparan dan lebih mudah dinavigasi,” kata Kohona.

Kohona menekankan bahwa Presiden Sri Lanka saat ini, Ranil Wickremesinghe ‘sudah akrab’ dengan China karena telah mengunjungi negara di kawasan Asia Timur itu pada 2016 saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) dan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping.

Wickremesinghe akan melakukan kunjungan ke China dalam waktu dekat untuk membahas kerja sama dalam sektor perdagangan, investasi dan pariwisata.

Kohona berharap tidak ada perubahan mendalam dalam kebijakan pemerintahan baru Sri Lanka terhadap China.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.