KATA banyak orang, bahagia itu sederhana. Bahagia bisa didapat tanpa harus jauh-jauh berwisata, bermewah-mewah, dan menghabiskan banyak biaya. Bahagia bisa dinikmati di sekitar kita bersama orang-orang terdekat atau tetangga.
 
Kebahagiaan yang sederhana itulah yang baru saja kita rasakan. Tidak hanya orang per orang, kelompok per kelompok, komunitas per komunitas, seluruh anak bangsa menikmatinya. Semua sama, sama-sama bahagia di hari kemerdekaan kita.
 
Ya, dua hari lalu, tepatnya pada Rabu Kliwon, 17 Agustus 2022, negara kita tepat berusia 77 tahun. HUT kemerdekaan sebenarnya ritual biasa. Saban tahun kita rayakan. Namun, HUT ini lain. Terasa berbeda. Terasa lebih bermakna. Penyebabnya, baru tahun inilah ia bisa dirayakan kembali secara bebas setelah selama dua tahun sebelumnya terpenjara virus korona.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Euforia menggelora di mana-mana. Di seluruh penjuru Tanah Air, semua orang berpesta. Pesta sebagai ungkapan syukur, juga pengingat bahwa sudah 77 tahun Indonesia berdiri sebagai bangsa yang berdaulat.
Wajar, sangat wajar, jika keceriaan begitu kentara. Upacara yang kemudian disusul dengan beragam lomba seperti peringatan HUT kemerdekaan di masa normal sebelumnya sungguh menggembirakan.
 
Rakyat dari pelosok hingga para pejabat di halaman istana, semua bahagia. Masyarakat dari anak-anak sampai dewasa, dari balita hingga warga lansia, bahagia dengan tarik tambang, panjat pinang, balap karung, makan kerupuk, dan menu-menu wajib lomba Agustusan lainnya. Yang berlomba senang, yang nonton senang.
 
Di istana, saking senangnya, para menteri, para petinggi negeri ini, tak malu-malu berdangdut ria selepas upacara. Penampilan Farel Prayoga, bocah asal Banyuwangi, Jawa Timur, mampu menggerakkan tangan, kaki, dan pinggul mereka. Tembang Ojo Dibandingke yang dilantunkan Farel bahkan membuat Ibu Negara Iriana Jokowi tak kuasa untuk tak bergoyang.
 
Sungguh menyenangkan melihat suasana itu. Tidak ada sekat, tidak ada jarak, tidak ada pembedaan di antara kita. Di masyarakat, cebong dan kadrun luruh dalam semangat yang sama, semangat nasionalisme, semangat mencintai bangsa ini. Di istana, perbedaan partai politik pergi entah ke mana. Yang tersisa hanya satu, pargoy, partai goyang.
 
HUT kali ini terasa kian spesial dengan datangnya kabar-kabar gembira. Untuk kali pertama, Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, menghelat upacara besar-besaran memperingati kemerdekaan RI. Sekitar 800 santri dan pengasuh pondok dengan khidmat mengikuti upacara. Jelas, itu fenomena yang luar biasa.
 
Sudah 50 tahun pesantren besutan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir beroperasi. Namun, selama itu pula mereka tak pernah menggelar upacara HUT kemerdekaan RI. Pesantren Ngruki selama ini disebut-sebut anti Pancasila, anti NKRI. Ba’asyir pun baru delapan bulan bebas dari LP karena kasus terorisme. Kalau akhirnya kini mereka menunjukkan kecintaan kepada bangsa dan negara, nikmat apa lagi yang kita ingkari?
 
Kabar bahagia datang pula dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sini, di Ponpes Hamalatul Quran, 75 eks napi teroris menjadi petugas dan pengibar bendera merah putih dalam upacara HUT kemerdekaan.
 
Di Sulawesi Tengah, 15 mantan teroris berikrar setia kepada NKRI. Begitu juga 40 napiter di LP Khusus Gunungsindur, Bogor. Ah, semakin banyak saja para penyimpang yang kembali ke jalan yang lurus. Semoga postulat bahwa pada waktunya semua akan NKRI benar adanya.
 
Kita layak bahagia di hari kemerdekaan. Namun, apa faedahnya kalau kebahagiaan itu hanya sesaat? Cuma sementara? Menjelang dan saat perayaan HUT kemerdekaan, nasionalisme setiap orang meledak-ledak. Namun, setelah pesta usai, masih menggebukah semangat itu?
Menjelang dan saat perayaan HUT kemerdekaan, ikatan kita sebagai sesama anak bangsa terasa begitu kuat. Namun, setelah pesta berakhir, masih adakah ikatan itu?
 
Mencintai negeri untuk mengisi kemerdekaan gampang diucapkan, tapi teramat sulit direalisasikan. Bagaimana bisa dibilang cinta bangsa ini kalau masih ada pejabat yang doyan menyengsarakan rakyat? Bagaimana bisa disebut cinta negara ini kalau penginnya bertengkar terus dengan saudara sebangsa?
 
Kita memang sudah tujuh dekade lebih lepas dari penjajahan bangsa asing. Namun, penjajahan oleh bangsa ini dalam berbagai wujud kiranya masih terjadi. Berlaku tidak adil dan mempermainkan hukum ialah bentuk penjajahan. Menggunakan kekuasaan dan kewenangan secara sewenang-wenang juga bentuk penjajahan.
 
Teramat sulit untuk diterima di negara merdeka, misalnya, masih ada jenderal di lembaga penegak hukum yang begitu kejam membunuh anak buahnya dengan cara yang sangat kejam. Akan sangat sulit diterima pula jika institusi tempat sang jenderal bernaung tak mampu karena tak mau menindak siapa pun yang terlibat dalam kekejaman tiada tara itu.
 
Kita berhak berbahagia di hari kemerdekaan. Namun, yang lebih penting, kebahagiaan yang abadi. Bukan hanya saat ini, melainkan juga di hari-hari nanti. Bung Hatta bilang, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.”
 
Pesta sudah usai. Marilah kita kembali ke dunia nyata, dunia yang tak sepenuhnya merepresentasikan hakikat merdeka.
 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.