Kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan (Irjen) Sambo sangat menyita perhatian khalayak ramai. Kasus yang cukup panjang (awal kasus terpublish hingga saat ini). Jalan ceritanya yang berliku-liku. Banyak orang menunggu, ikut membuka mata, memantau kelanjutan akan episode-episode selanjutnya.

Jalan cerita yang berliku itu bak sebuah sinetron atau drama Korea yang mengaduk aduk perasaan penonton. Episode-episode drama percintaan yang berujung pembunuhan ini membangkitkan kegusaran, kebencian, hingga hujan sumpah serapah yang teramat sangat dari sebagian besar warga.

Itu semua adalah kepiawaian yang menyajikan jalinan cerita (:berita), lalu ditambah bumbu-bumbu tafsir sehingga menggelitik para penggemarnya (:penonton). Seburuk apapun tanggapan penonton tidak bisa disalahkan. Penonton selalu benar.

Jalinan cerita Ferdy Sambo atau FS sangat menohok kesadaran semua orang. Seolah memaksa “merefresh” lagi pikiran dan hati untuk mengenali siapa kita dan siapa sesama.

Lalu hadirlah, episode yang cukup menentukan, Ferdy Sambo akhirnya mengakui dua kejahatan di hadapan Komnas HAM. Pengakuan tersebut diantaranya, mengakui dirinya sebagai dalang pembunuhan dan otak dibalik obstruction of justice yang menghalangi penyidikan. Selanjutnya, tidak saja Ferdy Sambo, tapi istrinya juga ditetapkan sebagai tersangka.

Timbul pertanyaan: mengapa kasus Sambo dihadirkan berepisode-episode, sementara episode kasus pelecehan santri dan pelajar biasa-biasa saja atau bahkan tenggelam? Bukankah kasus itu sama-sama kejinya, dengan puluhan santri dan pelajar sebagai korban? Ya, kasus Sambo memang telah meluluh lantakkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai Pengayom-Pelindung-Pelayan masyarakat.

Apa yang dilakukan (Irjen) Sambo terhadap Bharada J memang sadis. Sama dengan kesadisan-kesadisan penghilangan nyawa yang pernah berlaku selama ini. Sesadis penembakan membabi buta terhadap 33 mahasiswa Virginia Tech yang dilakukan oleh seorang mahasiswa AS berdarah Korea, hingga koran sindo memberitakan dengan kepala berita: Chu Juga Manusia.

Kepala berita tersebut dapat kita jadikan sebagai cara pandang yang sama untuk melihat peristiwa yang menghebohkan tanah air ini. Kata-kata “Chu juga manusia” sama dengan “sambo juga manusia”, atau “ Publik figur juga manusia”, atau “kita semua juga manusia”, yang kata lirik lagu dari band seurieus: rocker juga manusia/punya hati punya rasa/jangan samakan dengan pisau belati.

Cara pandang ini bukanlah sebuah pembenaran terhadap perilaku penghilangan nyawa atau sebuah dalih untuk memaafkan ketidaksempurnaan manusia. Bukan. Tetapi salah itu memang manusiawai. “Manungsa iku panggonane salah” kata ungkapan jawa.

Ya, Sambo memang telah berbuat salah karena penghilangan nyawa, Ia telah menjadi “pisau belati”, karena telah menuruti “keburukan” dari ketidaksempurnaan dirinya sebagai manusia.


Artikel ini bersumber dari surabaya.tribunnews.com.