Jakarta: Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memuji Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pujian itu disampaikan Georgieva saat mengunjungi Mal Sarinah bersama Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Pariwisata Sandiaga Uno beberapa waktu lalu. 
 
Bos IMF itu mengakui ekonomi Indonesia cukup stabil saat ekonomi dunia dalam kondisi suram. Namun, ekonomi Indonesia justru mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen, dengan inflasi empat persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia. Hal ini membuat Georgieva merasa bangga dengan pencapaian tersebut.
 
“Saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Presiden Jokowi, seorang sahabat sekaligus pemimpin besar negeri ini dan G20. Kami membahas tentang kebijakan pangan yang membuat Indonesia lebih kuat,” kata Georgieva.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Pengamat Ekonomi Unika Atma Jaya Rosdiana Sijabat mengatakan, beberapa lembaga internasional cukup baik dalam memproyeksikan ekonomi Indonesia masih akan bertumbuh sekitar lima persen di 2022. Tentu ini terkait dengan berbagai hal secara global yang terjadi diberbagai negara. 
 
“Yang paling penting adalah bagaimana Pemerintah bisa menggunakan mix policy, antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, supaya potensi ekonomi domestik itu menjadi penggerak ekonomi utama kita, meskipun tentu berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi global, tetapi sebenarnya secara market size aktivitas perekonomian domestik kalau kita optimalkan bisa juga menopang pertumbuhan ekonomi kita,” kata Rosdiana saat dihubungi, Rabu, 20 Juli 2022. 
 
Baca: Selamat dari Resesi, IMF Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
 
Menurut Rosdiana, jika melihat indikator-indikator ekonomi inti, maka Pemerintah harus waspada terhadap apa yang terjadi secara geoekonomi politik internasional, seperti dampak dari perang antara Rusia dan Ukraina. Kemudian beberapa negara mengalami inflasi cukup tinggi, dan kolapsnya Sri Lanka yang relatif dekat secara geografis dengan Indonesia, hingga perlu kehatian-hatian secara makroprudensial dalam pengelolaan ekonomi, terutama APBN. 
 
“Saya kira Pemerintah pasti sangat perlu antisipatif di sana, supaya tidak terjadi. Tapi kalau melihat beberapa aktivitas ekonomi inti, sebenarnya memasuki kuartal atau semester II-2022 ini, sebenarnya kita dalam kondisi secara kinerja ekonomi kita tidak dalam kondisi yang membahayakan, meskipun inflasi kita trennya naik ya,” ujarnya.
 
Dosen Ekonomi dan Bisnis menambahkan, ada beberapa tren aktivitas ekonomi mengalami ekspansi dan hal ini sangat baik buat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indeks mobilitas masyarakat semakin meningkat, di Juni 2022 mobilitas masyarakat sudah berada pada level tertinggi di kuartal I-2022, artinya aktivitas dan mobilitas yang naik itu menciptakan manfaat ekonomi terhadap berbagai sektor.
 
“Ketika indeks mobilitas masyarakat ini naik, berarti akan mendorong peningkatan konsumsi produksi, dan ini semua adalah hal baik bagi perekonomian. Kemudian kalau kita lihat konsumsi masyarakat juga mulai meningkat, aktivitas bisnis, kemudian indeks purchasing manufaktur kita juga baik, ada kenaikan di investasi, saya kira ini semua membuat kita sebenarnya tidak terlalu khawatir akan kebangkrutan ekonomi yang banyak diprediksi gitu,” ucapnya.
 
“Saya kira kita masih akan bisa berada pada level target pertumbuhan ekonomi antara 4,6-5 persen lebih sedikit, seperti di kuartal II ini masih memungkinkan untuk kita capai. Karena apa, salah satu yang penting itu adalah pemulihan konsumsi rumah tangga. Juli 2022 tingkat belanja masyarakat udah naik ya, mungkin hampir mencapai 30 persen kenaikannya,” tambahnya.
 
Meski ekonomi Indonesia dalam tren positif, Rosdiana mengingatkan Pemerintah agar tidak terlena dengan pujian yang disampaikan oleh beberapa lembaga internasional, seperti IMF dan hasil survei Bloomberg, karena potensi Indonesia bernasib seperti Sri Lanka sangat terbuka lebar, jika kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Meski begitu, Rosdiana begitu optimistis Indonesia tidak akan bernasib seperti Sri Lanka, karena perekonomian Indonesia cukup baik bila dibandingkan negara-negara lain, termasuk Sri Lanka sendiri. 
 
“Saya kira kalau kita diprediksi apakah mungkin kita akan mengalami apa yang dialami oleh Sri Lanka, saya kira sih bisa-bisa saja, kita khawatir dan itu hal biasa, tetapi kondisi ekonomi politik fundamental perekonomian kita, sosial masyarakat yang terjadi saat ini, saya kira kita tidak akan ke sana ya. Kondisi perekonomian kita secara makroprudensial itu membuat kita yakin Pemerintah bisa me-maintanance supaya aktivitas ekonomi kita ini tidak kepada kebangkrutan, seperti yang ada di Sri Lanka,” jelasnya.
 
Masalah yang dialami oleh Sri Lanka, menurut dia sangat berbeda dengan kondisi Indonesia. Bila mau dibandingkan, masalah utama yang membuat Sri Lanka bangkrut atau kolaps adalah kegagalan membayar utang luar negeri, atau gagal mendapatkan realisasi restrukturisasi utang luar negeri mereka yang cukup besar, terutama ke negara Tiongkok. Kemudian kegagalan ini diikuti dengan kepercayaan yang tidak ada lagi terhadap pemerintah, sehingga muncul isu sosial dan isu kemanusiaan. 
 
“Kalau kita lihat kondisi utang luar negeri Indonesia saat ini, memang perekonomian pada masa pandemi covid tahun lalu, misalkan kita punya kenaikan pada sisi utang karena defisit APBN yang membengkak, tetapi saya kira kita tidak perlu khawatir seperti yang terjadi di Sri Lanka, karena Pemerintah melihat apa yang terjadi secara global,” ungkapnya. 
 
“Pemerintah harus membangun komitmen menurunkan hutang luar negeri kita, bisa maintanance diturunkan. Dengan apa? Dengan cara punya komitmen supaya defisit anggaran kita di tahun mendatang itu bisa diturunkan, sehingga posisi utang kita relatif terhadap PDB, bisa aman gitu ya, sehingga apa yang kita khawatirkan terjadi terhadap Sri Lanka tidak terjadi di Indonesia,” pungkasnya.
 

(ALB)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.