Jakarta: Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengimbau agar pemerintah lebih gencar dalam menyosialisasikan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan kepada para penjual rokok, ketimbang merevisinya.
 
Rencana revisi itu jelas ditolak berbagai kalangan, termasuk pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) lantaran PP 109/2012 tersebut masih relevan untuk diterapkan pada saat ini. Di sisi lain, pemerintah dianggap belum mengoptimalkan penegakan hukum yang berlaku dalam aturan tersebut.
 
“Kami melihat PP 109/2012 masih sangat relevan untuk mengendalikan rokok, karena di situ sudah ada pengaturan-peraturan larangan penjualan. Kemudian, terkait pembatasan iklan, kemasannya juga sudah ada peringatan bahaya kesehatan,” ujar Benny dalam keterangan tertulis, Kamis, 11 Agustus 2022.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Menurutnya, banyak yang tidak tahu penjualan itu diatur, termasuk soal penegakan hukum yang belum ada. “Kalaupun mau direvisi sebenarnya dilakukan dulu evaluasi, di mana menjalankan aturannya secara optimal,” ketusnya.
 
Ia menambahkan, pemerintah lebih baik mencontoh pihaknya yang gencar melakukan edukasi terhadap para penjual agar bisa menurunkan angka perokok anak di bawah umur. “Kami justru lakukan sosialisasi kampanye rokok bukan produk untuk anak,” tutur Benny.
 
Benny menyebut revisi tidak dilakukan secara terburu-buru, karena harus dilakukan kajian bersama antara Kemenko PMK dan Kemenko Perekonomian. “PP 109/2012 itu berdampak kepada sektor perekonomian, jadi kalau ada uji publik mestinya berimbang, jadi dibahas dua Menko,” urainya.
 

 
Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menilai PP 109/2012 masih relevan untuk digunakan saat ini. “(PP 109/2012) masih sangat efektif dan relevan, cuma yang belum dilakukan adalah implementasi di lapangan. Nah sekarang, bagaimana evaluasinya, ini kan belum pernah dilakukan. Jadi tidak lantas langsung diubah kalau dianggap tidak efektif,” kata Atong.
 
Menurut Atong, Kemenko PMK tidak bisa merevisi PP 109/2012 secara sepihak. Sebab, proses pembuatan PP harus berkoordinasi dengan kementerian lainnya. “PP itu kan Peraturan Pemerintah yang harus dievaluasi. Ini merupakan Peraturan Pemerintah yang tingkatannya di bawah undang-undang, tentunya harus ada formalitas yang harus (dilalui), direvisi tidak sepihak begitu saja,” tegasnya.
 
Ia menyebut, dalam merevisi sebuah PP itu tidak bisa karena ada desakan dari pihak tertentu kepada pemerintah. Namun, harus ada pembahasan dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.
 
“Jadi mengubah PP itu tidak semudah seperti yang dibayangkan. Karena ada satu pihak yang ingin berubah terus diubah. Ini kementerian, enggak bisa didesak dengan kepentingan sepihak, karena kami mencoba melihat kepentingan baik sektoral, kementerian maupun para stakeholder sekitar dari industri, petani, juga di sisi dari kepentingan kesehatan,” kata dia.
 

(HUS)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.