ADA persamaan antara Brigadir J dan RF. Keduanya mengalami tindakan kekerasan dan meregang nyawa di fasilitas milik negara. Brigadir J disebut-sebut terlibat baku tembak sesama polisi di rumah dinas seorang jenderal, sedangkan RF disiksa di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) alis penjara anak.
 
RF, seorang narapidana anak, mengantarkan nyawanya ke LPKA Kelas II Lampung. Anak berusia 17 tahun itu baru menjalani masa hukuman 45 hari dari 8 bulan vonis penjara. Ia dianiaya hingga tewas pada 12 Juli 2022 oleh empat penghuni LPKA yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
 
Pengakuan empat tersangka sebagaimana dikutip Lampost.co membuat bulu kuduk merinding. Mereka mengakui pemukulan dilakukan karena tradisi kepada anak yang baru masuk sel Blok E No 09 Wisma Edelwys, Tegineneng, Pesawaran, Lampung.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Disebutkan bahwa pemukulan dilakukan secara bergantian. Walaupun korban sudah minta tolong, para pelaku tetap menghajar korban. Bahkan, tangan korban disunduti rokok.
Kekerasan sudah menjadi tradisi di LPKA. Fakta itu diungkapkan secara terang benderang dalam studi yang dilakukan Universitas Airlangga pada 2020. Hasil studi itu dimuat dalam News.unair.ac.id pada 11 Juli 2020 dengan judul Tindak Kekerasan pada Anak yang Berkonflik dengan Hukum.
 
Studi itu menemukan separuh lebih anak yang tinggal di penjara pernah mengalami tindak kekerasan, sebagian mengaku sering menjadi korban tindak kekerasan di lingkungan penjara, tindak kekerasan dianggap sebagai makanan keseharian bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
 
Mata kian membelalak membaca artikel yang ditulis Sutinah itu. Itu karena terdapat kode etik yang berlaku di lingkungan penjara sangat khas dan tumbuh dari kepentingan anak-anak itu sendiri.

 
Ada nilai yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum dalam menghormati napi anak yang lebih senior. Studi itu menemukan, sebagian besar napi mengakui dan menerima bahwa napi senior harus dihormati. Anak-anak yang lebih senior dan apalagi telah lebih dulu tinggal di penjara, dianggap telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih sehingga mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi.
 
“Yang memprihatinkan, studi ini menemukan meskipun jumlahnya kecil, ada yang mengaku terkadang memperoleh perlakuan pelecehan seksual dan bahkan ada 4 persen responden mengaku sering dilecehkan secara seksual berupa paksaan untuk melakukan onani atau mereka menjadi korban sodomi dari anak-anak tertentu.”
 
Sepertinya RF dianiaya karena tidak mematuhi kode etik yang berlaku di LPKA Kelas II Lampung. Berdasarkan data yang dihimpun Lampost.co, kasus bermula saat korban RF menjalani masa hukuman karena kenakalan remaja di LPKA pada 2 Juni 2022.
 
Pada 28 Juni, RF mulai dianiaya karena tidak menjalankan perintah anak senior untuk melakukan perbuatan negatif. Penganiayaan terus berlanjut hingga puncaknya pada 9 Juli. Korban dipukul bagian kepala, bahu, pipi, hingga disunduti rokok. Korban meninggal di Rumah Sakit Ahmad Yani Metro pada 12 Juli.
 
Mengapa kekerasan dibiarkan terjadi di LPKA? Tidak cukup dengan mencopot Kepala LP dan tiga sipir LPKA Kelas II Lampung. Harus ada pembenahan menyeluruh untuk semua LPKA di Tanah Air.
 
Pembenahan dengan konsisten menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 85 menyebutkan anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA. Ia berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Bukan pembinaan yang didapat RF malah pembinasaan. Harus jujur diakui bahwa ada yang salah dengan LPKA. Aturan pembinaan yang tertulis dalam Keputusan Menkum dan HAM Nomor M.HH-03.OT.02.02 Tahun 2014 sudah sangat rinci, tetapi miskin dalam penerapannya.
 
Keputusan menteri itu sangat rinci mengatur apa yang harus dilakukan. ‘Dalam rangka pelaksanaan keamanan wisma hunian, maka kontrol rutin akan dilakukan oleh seorang petugas keamanan, baik dalam keadaan kamar terkunci atau terbuka, dengan jarak waktu 1 jam dan lebih sering bila diperlukan’, demikian disebutkan dalam keputusan itu.
 
Penyiksaan terhadap RF berlangsung selama 11 hari sejak 28 Juni. Andai sipir menjalankan dengan sungguh-sungguh aturan yang sudah ditetapkan, niscaya RF tidak menemui ajalnya akibat penyiksaan.
 
Penyiksaan yang dialami RF hanyalah puncak gunung es. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2018, setidaknya 26,8 persen anak penghuni LPKA pernah menjadi korban kekerasan. Rinciannya, 81,3 persen dari mereka mengalami kekerasan fisik, 70 persen mengalami kekerasan psikis, dan 9,1 persen mengalami kekerasan seksual.
 
Jika kekerasan terus terjadi, bisa jadi negara gagal mengubah paradigma penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Prinsip yang dianut UU 11/2012 ialah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. UU itu juga mencegah anak setor nyawa di penjara anak.

 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.