Malang: Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya (UB), Dhelya Widasmara, mengimbau masyarakat tidak panik dengan wabah penyakit cacar monyet (monkeypox). Cacar monyet telah tersebar di 75 negara di dunia dengan total sebanyak 17.156 kasus positif dan telah menyebabkan 5 kasus meninggal hingga 22 Juli 2022.
 
“Yang pertama dan paling penting adalah jangan panik. Kedua, pastikan anak kita telah mendapatkan vaksinasi, dalam hal ini vaksin program pemberantasan cacar atau smallpox yang dapat memberikan perlindungan terhadap monkeypox,” kata Dhelya, Selasa, 28 Juli 2022.
 
Ia meminta warga menjaga daya tahan tubuh dengan istirahat yang cukup, pola hidup sehat, dan kurangi stres. Dhelya menerangkan gejala pada penyakit cacar monyet mirip dengan gejala cacar air pada umumnya. Hanya saja, gejala penyakit ini cenderung lebih ringan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Yang membedakan adalah, pada cacar monyet didapatkan pembesaran kelenjar getah bening atau limfadenopati,” terangnya.
 
Dokter kulit yang berfokus pada infeksi tropik ini menjelaskan, tanda dan gejala monkeypox yang muncul bergantung pada fase penyakit. Pertama fase prodromal. 
 
Gejala awal pada fase prodromal antara lain, penderita akan mengalami demam yang disertai dengan sakit kepala yang terkadang terasa hebat, nyeri otot, dan sakit punggung. Kemudian, pembengkakan kelenjar getah bening atau limfadenopati yang dirasakan di leher, ketiak, atau di area selangkangan, badan panas dingin bahkan kelelahan dan lemas.
 
Kedua, fase erupsi terjadi saat 1-3 hari setelah fase prodromal. Pada fase erupsi timbul ruam atau lesi pada kulit. Biasanya, ruam atau lesi ini dimulai dari wajah, lalu menyebar ke bagian tubuh lainnya secara bertahap.
 
Kemudian, ruam atau lesi pada kulit ini akan berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar atau maculopapular, lepuh yang berisi cairan bening atau nanah, lalu mengeras atau keropeng hingga akhirnya rontok. Gejala cacar monyet akan berlangsung selama 2−4 minggu sampai periode lesi atau ruam kulit tersebut menghilang.
 
“Penularan virus monkeypox terjadi ketika seseorang bersentuhan dengan hewan, manusia, atau bahan yang terjangkit atau terkontaminasi virus,” ujarnya.
 
Baca: Cacar Monyet Belum Terdeteksi di Indonesia, Tapi Kemenkes Imbau Ini
 
Lalu virus masuk ke dalam tubuh melalui mikrolesi pada kulit atau luka yang sangat kecil walaupun tidak terlihat, saluran pernapasan, atau selaput lendir (mata, hidung, atau mulut).
 
“Sedangkan penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi melalui gigitan atau cakaran, kontak langsung dengan cairan tubuh atau material dari lesi seperti darah, atau kontak tidak langsung, seperti melalui alas yang terkontaminasi,” terang dosen yang juga alumni dari FK UB ini.
 
Penularan antar manusia, imbuhnya, diperkirakan terjadi terutama melalui percikan pernapasan. Percikan droplet tidak dapat bertahan lama dan terbang jauh, maka diperlukan kontak tatap muka yang lama. 
 
“Metode penularan dari manusia ke manusia lainnya termasuk kontak langsung dengan cairan tubuh atau material dari lesi, dan kontak tidak langsung dengan material lesi, seperti melalui pakaian atau linen yang terkontaminasi,” ucap dia.
 
Menurut Dhelya, monkeypox adalah jenis penyakit yang bisa sembuh sendiri. Hingga saat ini, belum ada pengobatan yang spesifik untuk infeksi virus monkeypox, sehingga pengobatan simptomatik dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan yang muncul.
 
Monkeypox disebut merupakan penyakit bergejala ringan dengan tingkat kematian sangat rendah. Gejala-gejala penyakit pada umumnya dari monkeypox dapat diobati dan dapat sembuh dengan sendirinya tergantung imunitas penderita.
 

(NUR)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.