Fakta ini menjadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo yang sebelumnya telah menetapkan target keuangan inklusif untuk mencapai 90 persen pada 2024.
Bank dan penyedia layanan keuangan tradisional menghadapi sejumlah tantangan dalam menilai kelayakan kredit individu yang tidak memiliki rekening bank – maupun yang punya tetapi kurang menggunakannya, serta segmen UMKM dan usaha mikro, yang mencakup 99 persen dari semua bisnis di Indonesia.
Metode tradisional seperti menunjukkan slip gaji, laporan pendapatan usaha atau dengan meninjau sejarah masa lalu pengelolaan kredit dan utang sangat sulit, mengingat kurangnya sejarah kredit serta fakta bahwa kebanyakan orang Indonesia tidak tercakup oleh pengaturan pekerjaan formal.
Meningkatnya penggunaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan analitik data di seluruh bank maupun lembaga layanan keuangan dapat mengubah permainan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Metode penilaian kredit alternatif, seperti melihat data transaksi online, jenis telepon yang digunakan, tagihan telepon seluler atau tagihan listrik, dapat membantu membentuk penilaian yang akurat tentang profil kredit calon peminjam.
Orientasi nasabah bank kini dapat dengan mudah dilakukan melalui proses Know Your Customer (eKYC) elektronik, dibandingkan dengan cara lama yaitu mengunjungi bank secara fisik dan mengirimkan/memverifikasi dokumen identitas Anda.
Kemajuan AI dan OCR (Optical Character Recognition) dapat memperdalam inklusi keuangan, terutama di kota-kota level 2 dan 3 di Indonesia. Dengan bantuan teknologi ini, nasabah hanya membutuhkan sebuah smartphone dan koneksi Wi-Fi, untuk membuka rekening bank hanya dalam waktu singkat.
Selain menggunakan AI dan big data, bank dan lembaga jasa keuangan dapat menilai dan menanggung risiko dengan lebih akurat dan leluasa menyalurkan pinjaman modal kerja dan kredit.
Beberapa bank, lembaga keuangan, dan perusahaan e-commerce di Indonesia sudah mulai meningkatkan langkah keamanan dengan dukungan dari perusahaan seperti Advance.Ai, salah satu perusahaan teknologi AI yang sudah beroperasi di Indonesia sejak 2016 dan memiliki beberapa mitra seperti Standard Chartered Bank, GoJek, Tokopedia, Shopee, Bank Jago, Bank Mega, Bank BTPN, dan MNC Bank.
“Meningkatnya kewirausahaan dan UMKM di Indonesia sebenarnya membutuhkan solusi bisnis yang lebih simpel namun tetap dapat diandalkan. Indonesia berpotensi besar di mana bank, lembaga keuangan, dan perusahaan e-commerce dapat memperoleh berbagai manfaat dengan lebih terbuka untuk menyalurkan pinjaman modal kerja kepada setiap pengusaha yang lebih tradisional.”
“Pemberian skor kredit alternatif, serta penggunaan AI dan sains data dapat menanggung dan mengelola risiko berpotensi menjadi solusi untuk membuka potensi ekonomi segmen unbanked, underbanked, dan UMKM di Indonesia,” ujar Ronald F. Molenaar, Indonesia Country Manager Advance.Ai.
AAI mengklaim membantu mitranya menjalani prosedur eKYC dengan menggunakan deteksi biometrik sederhana, seperti selama orientasi (onboarding) pelanggan individu serta menyediakan solusi manajemen penipuan yang komprehensif untuk mengurangi penipuan dan mengotentikasi identitas asli dan pelanggan secara digital.
Salah satu teknologi KYC AAI adalah sistem optical character recognition (OCR), dengan tingkat akurasi 99 persen, terhubung dengan fitur liveness detection untuk memastikan profil individu yang hendak bertransaksi sesuai dengan identitas yang terdaftar.
Perbandingan wajah ini didahului dengan menggunakan teknologi penilaian pencocokan wajah, di mana profil pelanggan yang terdaftar dicocokkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) selama tahap onboarding pelanggan.
Baru-baru ini AAI mengumumkan kemitraan strategis dengan Semangat Digital Bangsa (SDB), penyedia innovative credit scoring (ICS) berbasis e-commerce yang berafiliasi dengan e-commerce raksasa Indonesia yaitu Tokopedia, dalam memanfaatkan AI dan data transaksi e-commerce masa lalu, untuk membantu analisis kelayakan kredit dan validasi data calon debitur.
Molenaar menjelaskan bahwa kerja sama dengan para mitranya menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma penting dalam beberapa tahun terakhir dari tradisional ke perbankan digital, yang menguntungkan baik nasabah maupun penyedia layanan.
“Kondisi keuangan inklusif pada titik ini menunjukkan kebutuhan yang lebih tinggi untuk akses yang lebih luas dan penyampaian layanan perbankan digital yang lebih baik, hingga ke dasar piramida sehingga kami dapat memenuhi tujuan-tujuan agenda nasional Indonesia,” tutupnya.
(MMI)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.