Jakarta: Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar PT Tuah Sejati tetap mengelola asetnya berupa stasiun bahan bakar untuk membayar uang pengganti. Nilai tuntutan uang pengganti yang harus dipenuhi korporasi tersebut sejumlah Rp49.908.196.378.
 
“Menetapkan terdakwa agar tetap mengelola aset usaha berupa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN), Stasiun Pengisian Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE), dan melanjutkan penyetoran keuntungan aset usaha ke rekening penampungan KPK sampai putusan perkara a quo berkekuatan hukum tetap,” kata JPU KPK M Agus Prasetya Raharja di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Agustus 2022.
 
Jaksa memerinci lokasi stasiun pengisian bahan bakar tersebut. Yakni, SPBN Nomor 18.606.231 berada di Jalan Sisingamangaraja PPI Lampulo Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Lalu, SPBU di Jalan Sultan Iskandar Muda Desa Gp Pie Kecamatan Meuraxa Ulee Lhueue, Kota Banda Aceh. Kemudian, SPPBE di Jalan Kantor Koramil Meurebo, Desa Peunaga Reyeuk Kecamatan Meurebo, Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
 
“Bahwa di persidangan telah terungkap fakta aset usaha berupa aset SPBU (barang bukti Nomor 131), SPBN (barang bukti nomor 127), dan SPPBE (barang bukti nomor 135) adalah diperoleh atau merupakan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa,” jelas jaksa.
 

KPK menyerahkan pelaksanaan operasi aset itu kepada PT Pertamina (Persero) lantaran BUMN tersebut memiliki kompetensi berkaitan dengan keberlangsungan pengelolaan aset tersebut. Lembaga Antikorupsi mempertimbangkan asas kemanfaatan dalam pengoperasian aset tersebut.
 
“Bahwa demi mempertimbangkan asas kemanfaatan dan mengingat aset tersebut menjadi sarana vital bagi kebutuhan masyarakat Aceh,” ucap jaksa.
 
Pada perkara ini, PT Tuah Sejati bersama PT Nindya Karya (Persero) dituntut membayar denda pidana sebesar Rp900 juta. Keduanya dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi pembangunan Dermaga Bongkar Sabang, Aceh, Tahun Anggaran 2006-2011. 
 
Kedua terdakwa korporasi itu dinilai terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. PT Nindya Karya diperkaya sebanyak Rp44.681.053.100.
 
Sedangkan, PT Tuah Sejati diperkaya sebanyak Rp49.908.196.378. Keduanya juga wajib membayar uang pengganti sejumlah tersebut.
 
Kedua perusahaan tersebut didakwa merugikan negara yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan Pembangunan Dermaga Sabang pada Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang (BPKS) Tahun Anggaran 2004-2011. Proyek itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
 
Terdapat persengkokolan PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati dalam penggarapan proyek tersebut. Sejumlah kontrak dan laporan dibuat sedemikian rupa agar proyek berjalan sesuai kesepakatan yang berujung melawan hukum.
 
PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati dituntut melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
 
Pada persidangan ini, PT Nindya Karya diwakili oleh Direktur Utama PT Nindya Karya Haedar A Karim. Sedangkan, PT Tuah Sejati diwakili oleh Muhammad Taufik Reza selaku direktur perusahaan tersebut.
 

(AGA)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.