Yogyakarta: Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) prihatin atas kasus pemaksaan memakai jilbab terhadap salah satu siswi kelas X SMA Negeri 1 Banguntapan Kabupaten Bantul. Terlebih pemaksaan itu mengakibatkan depresi. 
 
Ketua Dewan Pendidikan DIY, Sutrisna Wibawa mengatakan pemaksaan kehendak yang tidak sejalan dengan hati nurani siswa bertentangan dengan kebijakan sekolah merdeka yang mengedepankan prinsip hormat terhadap otonomi siswa dalam berekspresi. Selain itu, semestinya pembelajaran berpusat pada siswa dan hormat terhadap bhineka tunggal ika. 
 
“Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memerdekakan manusia secara lahir maupun batin,” kata Sutrisna di Yogyakarta, Jumat, 5 Agustus 2022. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Sutrisna mengatakan perlu tindak lanjut untuk menghindari kemungkinan kasus serupa terjadi lagi. Salah satu yang ia usulkan yakni penanaman pendidikan multikultural secara mendalam, berjenjang, komprehensif dan berkesinambungan secara lebih intensif kepada siswa-siswi maupun guru DIY.
 

Medium penanaman itu melalui mata pelajaran pendidikan kewarnanegaraan (PKn), pendidikan agama, maupun kursus-kursus singkat. Tujuan akhir pendidikan multikultural yakni agar bisa menghargai hak orang lain. 
 
“Pendidikan multikultural dapat membentuk pribadi berkarekter hormat terhadap keberagaman sekaligus bekerja sama dalam keragaman,” ujar mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini. 
 
Ia juga mengatakan perlu adabya percepatan implementasi Pendidikan Khas ke-Jogja-an yang telah diinisiasi oleh Dewan Pendidikan DIY. Implementasi itu perlu didukung oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY dan berbagai pihak pemerhati pendidikan. 
 
“Salah satu tujuannya adalah membentuk manusia mulia berkarakterkan toleran, saling mengerti dan menghormati satu dengan lain, adil, berkehendak baik dalam pikiran maupun tindakan; berlandaskan filosofi Hamemayu hayuning bawana (selalu berusaha memperindah alam semesta),” kata dia. 
 

Pihaknya mendorong sekolah di DIY selalu menerapkan praktek pendidikan ramah anak yang menghargai hak-hak anak dan kesetaraan gender, peduli terhadap tumbuh kembangnya berbagai potensi anak menggunakan pedagogik momong, among, dan ngemong.
 
Tiga sistem dari pendidikan di Tamansiswa itu bermakna; momong yakni peserta didik dirawat secara tulus dan dengan penuh kasih sayang hingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik”; among bermakna guru hendaknya dapat menjadi teladan bagi siswa-siswinya; serta ngemong yakni guru melakukan pengamatan sekaligus menjaga supaya siswa didik dapat mengembangkan potensi diri secara bebas dan bertanggung jawab. 
 
“Intervensi guru hanya dilakukan pada saat siswa didik berada dijalan yang salah,” ujar pria yang kini jadi akademisi di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ini.

 

(MEL)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.