Cerita-cerita Desiree saat mengajar anak-anak kelas 1-9 di Finlandia tersebut ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul “Cerita-cerita Kita” yang akan diterbitkan di Indonesia. Membaca cerita-cerita anak yang dilengkapi dengan gambar-gambar di buku itu menggambarkan betapa para pembelajar bahasa Indonesia itu dibiarkan berkreativitas sesuai kemampuannya.
Awal mula dia mengajar Bahasa Indonesia, Desiree merasa tidak nyaman ketika lama meninggalkan Indonesia justru “melupakan” negaranya itu. Salah satu wujud kepedulian dan rasa cinta pada Tanah Airnya itu adalah mengenalkan Bahasa Indonesia pada anak-anak di Finlandia.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Pemerintah Finlandia memang menyediakan fasilitas dan program pembelajaran bahasa ibu yang di dalamnya ada Bahasa Indonesia. Maka, kemudian Desiree diangkat sebagai guru Bahasa Indonesia oleh pemerintah setempat.
Sebagaimana sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah Finlandia, yakni kebebasan berekspresi kreatif siswa, Desiree juga menerapkan pola itu pada anak didiknya. Kalau di Indonesia, program itu kita kenal dengan Kurikulum Merdeka Belajar.
Karenanya jangan bayangkan jika cerita anak-anak yang umumnya hasil campuran orang tua Indonesia dengan berbagai warga negara lain itu merupakan cerita yang berkelas sastra. Buku itu berisi cerita-cerita sederhana mengenai aktivitas yang dijalani maupun murni imajinasi si anak.
Tak lupa, cerita-cerita itu juga dilengkapi dengan gambar-gambar untuk menampung kreativitas seni anak di bidang visual.
Dalam “Bermain Seharian”, Kintan Yustiansyah bercerita suatu hari ia tiba-tiba menjadi sangat kecil. Ia pergi ke hutan dan bertemu dengan binatang-binatang besar.
Ia menulis kata “besar” dengan BESAR untuk menegaskan betapa besarnya binatang-binatang itu. Dengan perasaan gembira ia naik ke punggung bintang itu lalu turun dengan cara memerosot lewat ekornya. Ia juga berjumpa jamur dan berlompat-lompat di atasnya seperti sedang bermain trampolin.
Ia kemudian pergi ke pantai dan bermain dengan ikan serta ubur-ubur. Setelah itu ia pulang dan ketika itu tiba-tiba ia membesar kembali. “Di jalan aku beli es krim. Hmmm… Lezat”. Begitu sederhananya Kintan menorehkan ceritanya.
Ada juga cerita yang hanya dua alinea, yakni “Migrasi Burung” karya Mikael Rintanen. Ia bercerita ketika bebek-bebek sudah tidak ada di danau-danau di Kota Espoo. Karena di kota itu sudah memasuki musim dingin, bebek-bebek tidak bisa lagi mencari makan dan bermain di air.
Mari kita lihat juga karya-karya yang lebih imajinatif dengan pengungkapan yang lebih detail serta panjang. Mungkin karya-karya itu merupakan cerita anak-anak di kelas yang lebih tinggi atau setingkat SMP di Indonesia.
Pada cerita “Dimakan Raksasa”, Aaron S. bercerita sedang bermain dengan temannya di luar. Ia dan temannya masuk kembali ke rumah saat tiba-tiba melihat raksasa. Mereka selamat. Namun saat ingin melihat kembali ke luar rumah, tiba-tiba raksasa itu memakan tokoh aku dan temannya.
Mereka berteriak, termasuk saat sudah berada di perut raksasa. “Uuugh… Untung ini hanya mimpi. Mimpi buruk, tetapi mimpinya tegang dan seru,” demikian Aaron memungkasi ceritanya.
Dalam cerita berjudul “Baju Daerah”, beberapa anak “hanya” menggambar orang dengan pakaian adat masing-masing yang di bagian atasnya diberi tulisan nama daerah tersebut, lengkap dengan gambar pulaunya. Meskipun “sangat sederhana”, setidaknya anak-anak itu masih mengenal daerah-daerah dan kekayaan budaya bangsanya, meskipun mereka lahir dan besar di negeri orang dan mungkin saja belum pernah datang ke daerah-daerah tersebut.
Di cerita berjudul “Harta Karun”, Naomi Maria membiarkan imajinasinya bertamasya menjulang ke langit dengan melihat pelangi, kemudian turun ke tanah dengan menggali lubang. Pada upaya menggali lubang itu, ia tak kunjung menemukan apa yang disebut harta karun, seperti petunjuk dalam peta yang ia temukan.
Kekecewaannya terobati setelah ia menemukan di lubang lain muncul dinosaurus yang disebutnya sebagai teman-teman baru. Itulah rupanya harta karun yang dimaksud dalam peta.
Kawanan dinosaurus itu menyambut si tokoh aku dengan sangat ramah. “Aku tidak sedih lagi karena sekarang aku punya banyak teman baru,” demikian Naomi menutup ceritanya.
Menilai Karya Anak
Tidak mudah menilai karya-karya cerita ini ketika bingkai pikiran diletakkan pada penghargaan tulus bagi kreativitas anak-anak. Bahkan, memberikan predikat bahwa karya ini “sangat sederhana”, memunculkan rasa bersalah pada anak-anak itu dan Desiree yang tentu sudah mencurahkan segala upaya, rasa, dan pikiran dalam mendidik hingga anak-anak asuhannya itu mampu menghasilkan karya.
Agaknya, anak-anak di Finlandia itu perlu diperkenalkan dengan kamus daring Bahasa Indonesia sehingga membantu memudahkan mereka mencari dan menggunakan kata yang lebih tepat.
Hal menarik dari penerbitan buku karya anak-anak ini adalah ketika lembaga pendidikan swasta di Indonesia, yakni Don Bosco Jakarta dan Cikarang menyambutnya dengan kerja sama.
Lewat perantara seorang aktivis literasi sekolah yang juga seorang novelis Naning Pranoto, sejumlah lembaga pendidikan di yayasan itu akan menerbitkan buku yang merupakan tulisan tanggapan atas cerita anak-anak di Finlandia.
Sejumlah siswa di Indonesia akan mengupas atau menyauti cerita-cerita anak-Finlandia itu lewat cerita pembanding atau bisa juga cerita lain yang terkait dan dialami anak-anak di Jakarta dan Cikarang. Maka, jadilah cerita bersaut cerita.
Selain belajar mengenai “Merdeka Belajar” dalam bidang literasi, kerja sama ini tentu juga memberikan pengalaman berharga pada siswa-siswa di Indonesia untuk memiliki pergaulan global serta berkomunikasi lintasnegara.
(CEU)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.