“Sesuai dengan tugas dan fungsinya, BNPT telah menindaklanjuti data-data tersebut,” kata Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, 8 Juli 2022.
Bentuk tindak lanjut laporan itu, kata Nurwakhid, dengan mendalami, mengoordinasikan, dan memfasilitasi aparat penegak hukum dari hasil analisis transaksi keuangan lembaga filantropi ACT, baik individu maupun organisasi yang terlibat dalam jaringan terorisme di dalam ataupun di luar negeri.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Untuk pendalaman kajian lebih lanjut, BNPT akan menjalin kerja sama dengan rekanan guna menelusuri dugaan transaksi untuk individu maupun organisasi yang terlibat terorisme. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkapkan adanya modus jaringan pendanaan teror yang mengatasnamakan lembaga-lembaga kemanusiaan.
Dalam pendanaan terorisme tersebut, pendanaan berkedok lembaga amal di tengah masyarakat menjadi sumber dana yang signifikan dalam penguatan jaringan teror.
“Makin maraknya kelompok radikal atau teroris di Indonesia memanfaatkan lembaga amal dan filantropi untuk penggalangan dana ini juga terkait dengan konteks masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kedermawanan sosial yang cukup tinggi,” kata dia.
Menurut Nurwakhid, berdasarkan data World Giving Index pada 2021, Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang memiliki tingkat kedermawanan paling tinggi. Namun, hal tersebut justru menjadi celah yang dimanfaatkan kelompok radikal dan teror untuk galang dana dengan modus donasi dan amal.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana sebelumnya mengatakan pihaknya menganalisis transaksi yang hasilnya terindikasi ada penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi dan terkait dengan dugaan aktivitas terlarang.
Menurut dia, PPATK sudah sejak lama menganalisis transaksi keuangan ACT. Hasil analisis itu pun telah diserahkan kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dan BNPT.
(JMS)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.