Dengan dasar itu, ia memperkirakan postur APBN pada 2023 antara lain asumsi ekonomi makro; pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen; Inflasi plus minus empat persen; Kurs (Rp/USD) 14.400-14.700; suku bunga SUN 10 tahun 7,3-9 persen; harga minyak mentah Indonesia (ICP) USD90-USD100 per barel; dan lifting minyak bumi 650 ribu-680 ribu barel per hari,
“Kemudian lifting gas bumi 1.040-1.150 setara minyak ribu barel per hari. Lalu target tingkat kemiskinan 7,5-8,5 persen; tingkat pengangguran terbuka 5,3-6 persen; rasio gini 0,375-0,378; indeks pembangunan manusia 73,3-73,4; nilai tukar petani 105-107; dan nilai tukar nelayan 107-108,” kata Said, dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 3 Agustus 2022.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Ia menambahkan belum usai persoalan pandemi covid-19, di awal 2022 Indonesia dihadapkan pada perang antara Rusia dan Ukraina. Sontak saja, perang tersebut menyebabkan supply shock bahan pangan dan energi. Dampaknya, inflasi mebumbung tinggi yang menjalar dibanyak kawasan. Situasi ini tentu ada untung ruginya buat ekonomi Indonesia.
“Efek kenaikan harga komoditas global di kuartal IV-2021 berdampak penerimaan perpajakan kita melampaui target, setelah 12 tahun berturut-turut kita mengalami short fall pajak. Naiknya harga komoditas juga menjaga surplus perdagangan sejak Mei 2020,” tuturnya.
Di lain hal Indonesia harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi, yakni BBM, LPG, dan listrik. Membengkaknya alokasi subsidi dan kompensasi energi dikarenakan telah lama menjadi importir minyak bumi.
“Biaya tambahan juga dibutuhkan untuk menjaga daya beli, khususnya rumah tangga miskin terhadap kenaikan inflasi yang mulai dirasakan di sejumlah bahan pangan impor,” jelasnya.
Pada 2023, tambahnya, Indonesia perlu mewaspadai kesiapan fiskal, mengingat tahun depan harus kembali pada defisit pembiayaan APBN di bawah tiga persen PDB. Indonesia tidak bisa lagi membuka pembiayaan utang seperti tiga tahun terakhir untuk melebarkan ruang fiskal.
“Oleh sebab itu senjata utama pemerintah agar memiliki dompet lebih tebal yakni dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, menjaga surplus perdagangan yang di topang dari ekspor baru dan manufaktur, penerimaan perpajakan yang baik, dan inflasi yang terkendali, serta meningkatkan investasi, khususnya pada sektor primer,” ucapnya.
Menurutnya pertumbuhan ekonomi optimistis bisa diraih ke level lima persenan jika Indonesia mampu mengelola inflasi dengan baik. Dengan inflasi terkendali dengan baik maka permintaan domestik (konsumsi rumah tangga) sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi selama ini akan terjaga.
“Kita masih peluang besar seiring masih relatif tingginya harga komoditas ekspor. Oleh sebab itu porsi ekspor dalam mendorong permintaan perlu terus ditingkatkan, agar tidak semata-mata mengandalkan permintaan domestik. Ini saatnya kita melakukan transformasi ekonomi untuk lebih outward looking,” pungkasnya.
(ABD)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.