SURYA.CO.ID, KOTA SURABAYA – Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) menolak membayar retribusi Izin Pemakaian Tanah (IPT) kepada Pemkot Surabaya. Mereka menganggap Perda 1/2022 yang jadi payung hukum aturan ini bertentangan dengan UU 1/2022.

KPSIS berpegangan pada surat Kementerian Dalam Negeri yang diterbitkan 1 Agustus 2022. Surat yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah, Suhajar Diantoro ini sebagai tanggapan atas permohonan KPSIS untuk menghentikan pungutan yang dianggap ilegal.

Dalam surat Kemendagri, objek retribusi izin pemakaian tanah berdasarkan Perda Surabaya 1/2022 harus disesuaikan dengan objek retribusi pemanfaatan aset daerah sebagaimana diatur dalam UU 1/2022. Ditujukan kepada Gubernur Jatim, surat itu juga memberi tenggang selama 15 hari (sejak dikeluarkan) kepada gubernur untuk mengklarifikasi.

Dengan adanya jawaban ini, warga KPSIS menganggap pungutan tidak sah dan menyalahi Undang-Undang. Mereka sepakat tidak akan mau membayar retribusi IPT di tanah yang mereka tempati selama puluhan tahun.

“(Aturan retribusi) tidak sah, ilegal. Perda Nomor 1 Tahun 2022 ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022,” kata Sekretaris Jenderal KPSIS, Rachmat Musa Budijanto, Minggu (14/8/2022).

Musa menyebut, terbitnya Perda Surabaya 1/2022 tersebut terkesan memaksakan kehendak untuk mengklaim lahan yang ditempati pemilik surat ijo sebagai aset milik pemkot. “Dengan (pemerintah) SK HPL itu, mereka memperkuat dengan perda-perda, tentang retribusi ini. Akhirnya muncul dengan Perda 1/2022, kena batunya ini,” jelasnya.

Selama ini, Pemkot Surabaya menyebut tanah tersebut menjadi aset pemkot. Pemkot lantas menarik retribusi atas tanah sebagai sewa penggunaan lahan.

Sekalipun memiliki Perda, Musa mengungkapkan bahwa pemkot justru mengajukan permohonan hak pemanfaatan lahan (HPL) kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Padahal, mengutip UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Musa menyebut, tak ada istilah sewa seperti yang tertera dalam Surat Ijo.

Tak hanya di Surabaya, Musa menyebut beberapa daerah sempat memiliki masalah serupa. Di antaranya, di Jakarta, Semarang, dan Makassar. Namun semua daerah disebut selesai dengan lahan diserahkan kepada warga.

“Sejak awal, aset ini telah dimiliki warga. Sudah puluhan tahun kami menempati tanah ini. Serta tak ada anggaran pemkot yang digunakan untuk membeli aset ini sebelumnya,” tegas Musa.


Artikel ini bersumber dari surabaya.tribunnews.com.