Yogyakarta: Kasus siswa yang dipaksa memakai jilbab di SMA N 1 Banguntapan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), masih berlanjut. Kasus ini diadukan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY.
 
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY juga menyebut tengah menangani kasus ini.  Ibunda siswi SMAN 1 Banguntapan, Herprastyanti Ayuningtyas, menuliskan cutahan hati (curhat) yang diterima Medcom.id, pada Rabu, 3 Agustus 2022. 
 
Dalam catatan itu, Ayuningtyas menulis anaknya trauma dengan perlakuan para guru di sekolah. Kondisi ini membuat anaknya harus berususan dengan psikolog.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog,” kata Ayuningtyas dalam catatan tersebut.
 
Ia minta sekolah dan para guru bertanggung jawab. Pasalnya, anaknya yang merupakan atlet sepatu roda itu kini mengurung diri.
 
Saya ingin sekolah SMAN1 Banguntatap, pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertanggungjawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala,” ucapnya.
 
Baca: Guru Akui Ada Peristiwa Memasangkan Jilbab pada Siswi, Berdalih Sekadar Tutorial

Berikut isi curhatan Ayuningtyas;

Perundungan, Intimidasi Wajib Jilbab SMAN 1 Banguntatap, Bantul
 

Nama saya, Herprastyanti Ayuningtyas, seorang ibu, perempuan Jawa, tinggal di Yogyakarta, yang sedang sedih dengan trauma, yang kini dihadapi putri saya, dampak dari memperjuangkan hak dan prinsipnya.
 

Putri saya adalah anak yang jadi perhatian media di sekolah di SMAN 1 Banguntatapan, Bantul. Bagi kami orang tuanya, dia bukan anak yang lemah atau bermasalah. Dia terbiasa dengan tekanan. Saya dan ayahnya bercerai namun kami tetap bersama mengasuh anak kami. Dia atlet sepatu roda. Dia diterima di SMAN 1 Banguntapan sesuai prosedur.
 

Pada Selasa, 26 Juli 2022, anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, “Mama aku mau pulang, aku enggak mau di sini.”
 

Ibu mana yang tidak sedih baca pesan begitu? Ayahnya memberitahu, dari informasi guru, bahwa anak kami sudah satu jam lebih berada di kamar mandi sekolah.
 

Saya segera jemput anak saya di sekolah. Saya menemukan anak saya di Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.
 

Awal sekolah dia pernah bercerita bahwa di sekolahnya diwajibkan pakai jilbab, baju lengan panjang, rok panjang. Putri saya memberikan penjelasan kepada sekolah, termasuk walikelas dan guru Bimbingan Penyuluhan, bahwa dia tidak bersedia. Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak mau pake jilbab?”
 

Dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anak saya. Ini bukan “tutorial jilbab” karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan.
 

Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.
 

Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog. Saya ingin sekolah SMAN1 Banguntatap, pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertanggungjawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala.
 

Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya, “Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?

 
Terbaru, siswi tersebut akan dipindah ke sekolah lain. Namun, kondisinya masih alami trauma dan menjalani konseling dengan psikolog Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
 

(NUR)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.