“Hadirnya KHDPK di tengah masyarakat sebetulnya ibarat tamparan keras orang tua (pemerintah) terhadap anaknya (Perhutani) yang bandel melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan perlindungan hutan, reboisasi, serta rehabilitasi tanpa mengumbar aibnya dikarenakan masih dianggap anak,” kata pemerhati lingkungan, Cepi Dadang Komara, melalui keterangan tertulis, Minggu, 24 Juli 2022.
Cepi melanjutkan, Perhutani seharusnya berterima kasih dikarenakan beban tugas pokok dan fungsinya dikurangi oleh pemerintah. Sehingga, Perhutani cukup mengelola yang memang sesuai kemampuannya untuk dikelola.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Penetapan KHDPK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021. Aturan itu menyatakan KHDPK ditetapkan untuk kepentingan perhutanan sosial; penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan; perlindungan hutan; atau pemanfaatan jasa lingkungan.
Pasal 125 ayat (7) menyatakan, KHDPK meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang kehutanan.
Dijelaskan Cepi, selama bertahun-tahun kegiatan reboisasi dan rehabilitasi berjalan lambat. Sementara itu, kejadian bencana alam seperti banjir dan longsor terus terjadi.
“Hal ini menuntut perbaikan lingkungan. Hadirnya KHDPK menyiratkan kawasan hutan yang dimandatkan untuk dikelola BUMN, dalam hal ini Perhutani, kembali ditarik oleh pemerintah,” kata dia.
Baca: Pemerintah Siapkan Terobosan Selamatkan Hutan Jawa
Perhutani mengelola 2.433.024,7 hektare hutan di Pulau Jawa. Jumlahnya sebanyak 18 persen dari luasan Pulau Jawa.
Lantas, Surat Keputusan Menteri LHK Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 mengeluarkan aturan untuk menarik mandat pengelolaan hutan dari Perhutani seluas 1.103.941 hektare. Hutan seluas itu akan kembali dikelola pemerintah.
Sebanyak 338.944 hektare di antaranya…
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.