Jakarta: Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia memaparkan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 telah mengkategorikan 919 kegiatan usaha. Adapun 15 kegiatan dilabelkan hijau, 422 dilabelkan kuning, dan 482 dilabelkan merah. Studi ini juga menunjukkan terdapat peningkatan tren portofolio hijau di tiga tahun terakhir.
 
Sebagaimana diketahui, di awal 2022 OJK menerbitkan Taksonomi Hijau Indonesia yang memberikan pedoman aktivitas ekonomi dengan menerapkan sistem traffic light untuk mengklasifikasi kegiatan dari sudut pandang keberlanjutan, yaitu hijau untuk kegiatan yang tidak membahayakan dan berdampak positif terhadap lingkungan, kuning untuk kegiatan dalam transisi, dan merah untuk kegiatan tinggi emisi dan merusak lingkungan. Kategorisasi ini dirancang untuk mengarahkan investasi menuju kegiatan ramah lingkungan.
 
“Tujuan taksonomi sebenarnya adalah untuk memberikan sinyal yang jelas bagi sektor swasta untuk memperbanyak investasinya di kategori hijau,” jelas Associate Director CPI Indonesia Tiza Mafira, dalam hasil analisisnya, dikutip Jumat, 22 Juli 2022.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Data menunjukkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cukup berhasil meningkatkan minat portofolio investasi hijau sejak penerbitan POJK 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, yang mengidentifikasi 11 jenis portofolio hijau yang perlu dilaporkan oleh sektor keuangan.
 
“Apabila taksonomi diperkuat dan diharmonisasi dengan instrumen hukum serupa, maka potensi investasi hijau akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kegiatan usaha yang berhasil mendapat label hijau,” ujar Tiza Mafira.
 
Senior Analyst CPI Indonesia Luthfyana Larasati menjelaskan, klasifikasi usaha yang saat ini dikategorikan kuning juga perlu diperjelas perannya sebagai kategori sementara dalam rangka memuluskan transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah emisi. Apabila jelas kondisi-kondisi yang kelak akan menyebabkan industri di kategori kuning diperketat menjadi merah, maka investor akan memiliki kepastian untuk investasi jangka panjang.
 
“Sektor swasta ini mengalami peningkatan nilai kapitalisasi pasar sampai dengan 20 persen pada Mei 2022 pascapandemi di 2020. Namun, partisipasi sektor swasta dinilai belum optimal. Meskipun trennya meningkat, sektor swasta baru berkontribusi sebesar sembilan persen (atau USD21,3 miliar selama 2015-2019) dari total kebutuhan pendanaan. Untuk mengisi kesenjangan pendanaan dibutuhkan sekitar USD250 miliar sampai dengan 2030. Hingga 2020, pemerintah telah mendanai sekitar 34 persen dari total kebutuhan pendanaan tersebut, sehingga sisanya sebesar 66 persen diharapkan dapat diisi dari sumber nonpemerintah,” lanjut Luthfyana.

Taksonomi hijau menguatkan ekosistem keuangan berkelanjutan

Kepala Bagian Penilaian Perusahaan Jasa Keuangan OJK Nurkhamid menanggapi taksonomi hijau adalah upaya kebijakan dalam penguatan ekosistem keuangan berkelanjutan. “Di samping itu, taksonomi dapat membantu pemantauan berkala investasi, utamanya sektor swasta, melalui peningkatan kualitas pelaporan dan pengungkapan (disclosure), sehingga dapat mendorong mobilisasi investasi pada sektor-sektor hijau,” tuturnya.
 
Direktur Investment Banking Capital Market BRI Danareksa Sekuritas Kevin Praharyawan memberikan pandangannya selaku penjamin emisi obligasi berwawasan lingkungan (underwriter), taksonomi kedepannya juga berpotensi untuk mengarahkan investasi dan mendorong penerbitan produk-produk baru berwawasan lingkungan di pasar modal apabila ada common principle yang didefinisikan dalam taksonomi, yang berpotensi mengurangi biaya verifikasi dan uji tuntas (due diligence), dan biaya-biaya pendukung lainnya seperti biaya ahli lingkungan.
 
Hal ini selaras dengan pandangan Dedi Junaedi dari PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Dedi mengatakan pengkategorian aktivitas ekonomi didalam taksonomi, ini dapat memberikan prediktabilitas kebijakan di dalam sistem pasar modal, sehingga meningkatkan kepercayaan pelaku pasar dan menciptakan peluang ekonomi yang lebih besar.
 
Menanggapi hal-hal tersebut, Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Rudy Utomo berpendapat selain taksonomi yang memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan, insentif dinilai berperan penting untuk mendorong peningkatan demand dan supply produk-produk hijau dan berwawasan lingkungan. Maka diharapkan adanya kebijakan dari regulator terkait  insentif yang dapat diberikan kepada investor dan penerbit untuk pengembangan produk kedepannya.
 
“Contohnya, perluasan cakupan produk sebagaimana diatur dalam POJK 60/ 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond), diharapkan dapat meliputi juga Produk Berwawasan Lingkungan lainnya yang diantaranya memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan tata kelola (ESG Bonds) dan/atau yang memenuhi kriteria Sustainable Development Goals (SDG Bonds),” pungkasnya.
 

(AHL)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.