Pada penunjukan Jackson, 51, oleh Presiden Joe Biden, menunjukkan bahwa pria kulit putih tidak lagi mendominasi pengadilan tertinggi negara tersebut untuk pertama kalinya dalam 233 tahun.
Meski begitu, penunjukan Jackson tidak akan mengubah mayoritas konservatif 6-3 di pengadilan, yang mana mendapatkan kecaman atas keputusan mereka belakangan ini. Keputusan tersebut di antaranya adalah memperluas hak untuk memanggul senjata, menghapuskan hak aborsi, dan membatasi kekuasaan pemerintah untuk mengekang gas rumah kaca.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Ketika Hakim Kentaji Brown Jackson menduduki kursinya di Mahkamah Agung, bangsa kita mengambil langkah bersejarah untuk mewujudkan cita-cita tertinggi kita,” ucap Nancy Pelosi, pemimpin Partai Demokrat di Kongres seperti dikutip dalam AFP, Jumat 1 Juni 2022.
“Di tengah serangan kejam pengadilan terhadap kesehatan, kebebasan, dan keamanan rakyat Amerika, ia akan menjadi kekuatan yang sangat dibutuhkan untuk keadilan yang setara bagi semua orang,” imbuh Pelosi.
Pada upacara singkat Kamis, 30 Juni 2022, Jackson berbicara hanya untuk mengucapkan sumpahnya.
Ia mendapat dukungan dari tiga anggota Senat Partai Republik selama proses konfirmasi yang melelahkan dan terkadang brutal. Ini memberikan Biden persetujuan non-partisan 53-47 untuk calon Mahkamah Agung pertamanya.
Pengambilan sumpah Jackson menjadi momen besar bagi Biden yang memimpin Komite Kehakiman Senat pada 1980-an hingga 1990-an. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki perbedaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam menunjuk dan mengawasi penunjukan Hakim Agung.
Penunjukan itu memberikan kesempatan bagi pemerintahannya untuk beralih dari serentetan berita buruk dalam beberapa bulan terakhir, dengan peringkat pemungutan suara Biden yang masih mendekam di bawah 40 persen di tengah inflasi menjelang pemilihan pada November.
Hal yang krusial adalah pelantikan Jackson membuat Biden dapat menunjukkan kepada pemilih kulit hitam bahwa inilah yang dapat ia berikan kepada mereka.
Pada 42 hari, pengesahan itu termasuk yang tersingkat dalam sejarah, meskipun lebih lama dari yang dibutuhkan untuk memilih mahkamah terakhir Donald Trump selama kepresidenannya, Amy Coney Barrett.
Sebagai keputusan akhir atas semua sengketa hukum perdata dan pidana, serta sebagai pelindung dan penafsir UUD, Mahkamah Agung berupaya menjamin keadilan yang sama di bawah hukum.
Sebanyak empat dari sembilan hakim di pengadilan kini adalah perempuan. Hal ini menjadikan mereka sebagai hakim aling beragam dalam sejarah, meskipun mereka semua menghadiri sekolah hukum elite di Harvard ataupun Yale. (Nurul Hafizhah)
(FJR)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.