Jakarta: Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang Rachmat Gobel mendukung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global akibat pandemi covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina.
 
“Tapi dalam jangka menengah dan panjang kita harus waspada terhadap masalah pangan kita. Juga efisiensi anggaran, serta efektivitas dan penguatan koordinasi antarlembaga dan kementerian,” katanya, Senin, 18 Juli 2022.
 
Pada pekan lalu, Menkeu memberikan keterangan tentang kondisi ekonomi Indonesia dengan fakta-fakta yang optimistis. Hal itu menjawab kegelisahan publik akibat krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik di Srilanka. Pemberitaan sebelumnya juga menunjukkan ada sejumlah negara yang berpotensi terkena resesi. Pandemi covid-19 yang disusul konflik Rusia-Ukraina serta iklim kemarau basah juga mengakibatkan melejitnya harga-harga pangan dan energi. Bahkan harga sayuran pun ikut melejit.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Secara fiskal Indonesia cukup aman karena tertolong oleh berkah naiknya harga batu bara dan harga CPO. Hal ini mengkompensasi kenaikan harga BBM. Secara moneter Indonesia juga cukup aman karena inflasi masih cukup terkendali. Hal-hal inilah yang membedakan Indonesia dari negara-negara lain, apalagi Sri Lanka,” kata Gobel.
 
Hal itu juga menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan parlemen. 
 
Hanya saja Gobel mengingatkan masyarakat tetap terbebani oleh kenaikan harga BBM dan harga komoditas pangan. “Dalam situasi ini kita juga bersyukur ketersediaan beras dan harga beras masih tercukupi oleh petani kita dan harganya terkendali. Inilah yang menjadi pengaman sesungguhnya,” katanya.
 
Namun harga cabai, tomat, sayur-mayur, daging, telur, minyak goreng, dan susu sudah melejit karena panen yang terganggu oleh kemarau yang basah serta karena kondisi global. “Climate change ini akan terus mengganggu di masa depan. Jadi perlu inovasi dalam bercocok tanam serta gotong-royong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daging, telur, cabai, tomat, dan sayur-sayuran lainnya,” jelasnya.
 

Tentang pangan ini, Gobel mengajak pemerintah dan seluruh masyarakat untuk menguatkan sejumlah komoditi yang masih bisa dipenuhi dari dalam negeri jika diupayakan secara sungguh-sungguh seperti daging, susu, dan kacang kedelai. Untuk kacang kedelai, Indonesia pernah mandiri di masa lalu. Namun karena salah kebijakan dan tiadanya perlindungan, katanya, kini Indonesia sudah menjadi tergantung pada impor.
 
“Data 2021 produksi dalam negeri kedelai hanya 213.548 ton. Sedangkan impornya mencapai 2.489.690 ton. Jadi 95 persen impor. Padahal pada 2016 petani kita masih mampu menyediakan 1.391.300 ton. Tapi kemudian menurun terus,” tuturnya.
 
Kondisi ketergantungan terhadap impor juga terjadi pada daging dan susu/mentega/telur. “Pada 2017 impor susu, mentega, dan telur senilai USD990 juta. Tapi pada 2021 menjadi USD1,394 miliar. Sedangkan impor daging pada 2017 senilai USD590 juta, namun pada 2021 menjadi USD965 juta,” ungkap Gobel.
 
Untuk produk-produk pangan ini, katanya, sebetulnya Indonesia masih bisa mengusahakan untuk memenuhinya dari dalam negeri. “Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, perlindungan, dan koordinasi. Jadi bebanya bukan hanya ke kementerian pertanian saja tapi juga melibatkan kementerian dan lembaga lain,” katanya.
 
Hal yang paling parah, kata Gobel, adalah impor gandum. “Pada 2017 nilainya USD2,927 miliar. Namun pada 2021 sudah melonjak ke USD4,074 miliar. Khusus untuk gandum ini, tanah Indonesia memang tidak cocok untuk tanaman gandum. Namun kita harus melakukan diversifikasi. Kita punya tepung sagu, tepung singkong, tepung jagung, tepung talas, dan lain-lain. Jadi yang diperlukan adalah gerakan nasional mengurangi ketergantungan pangan yang berbahan gandum,” paparnya.
 
Sebagai contoh, kata Gobel, di Kabupaten Meranti, Riau, ada mi dari bahan sagu. “Rasanya enak. Jadi saatnya kita beralih seperti Vietnam membuat mi dari beras dan Jepang membuat mi dari soba,” katanya.
 
Demikian juga untuk kueh-kueh, katanya, sudah saatnya mengandalkan tepung yang berbahan lokal. “Hal seperti ini harus menjadi gerakan nasional. Saya sangat peduli soal pangan karena pangan itu soal ketahanan nasional. Banyak pemerintahan jatuh dan suatu negara roboh karena tak mampu menyediakan pangan untuk rakyatnya. Kini kita merasakannya setelah ada gejolak politik global. Kita beruntung bisa menjaga beras walaupun sempat akan diganggu oleh petualang yang ingin cari duit cepat dengan rencana impor satu juta ton beras. Alhamdulillah pemerintah dan parlemen berhasil menggagalkannya dan terbukti kita tak butuh impor. Jika itu terjadi maka petani akan kapok menanam padi seperti petani kapok menanam kedelai karena tak ada perlindungan dari negara,” jelasnya.
 
Gobel mengatakan, APBN Indonesia terus meningkat dengan pesat, sehingga kemampuan fiskal kita sangat kuat. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah efisiensi agar dana itu termanfaatkan secara optimal.
 
Pada sisi lain, katanya, juga harus menguatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga sehingga suatu program tidak dibebankan ke satu kementerian atau lembaga saja. “Di sini butuh figur-figur pemimpin yang kuat. Jangan semua menggantung pada Presiden. Kita sangat beruntung memiliki Pak Jokowi yang memiliki kepemimpinan yang kuat, namun masalah Indonesia itu banyak jadi para pembantunya harus bisa menjadi penopangnya yang baik,” pungkasnya.
 

(AHL)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.