Jakarta: Petani sawit telah mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo yang berisi beberapa permintaan, mulai dari pencabutan Domestic Market Obligation (DMO) hingga penghapusan pungutan ekspor (PE).
 
Surat ini disampaikan oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) kepada Presiden Joko Widodo pada Kamis, 14 Juli 2022. Dalam surat tersebut, Apkasindo menyampaikan lima saran kepada pemerintah demi keberlanjutan kesejahteraan para petani dan buruh sawit.
 
“Perlu dilakukan langkah strategis kebijakan dalam upaya percepatan menyeimbangkan antara ketersediaan, kebutuhan, dan keterjangkauan minyak goreng dengan tata kelola perkelapasawitan Indonesia,” tulis Apkasindo dalam surat tersebut, dikutip Jumat, 15 Juli 2022.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Pada butir pertamanya, Apkasindo mengawalinya dengan saran pencabutan DMO, Domestic Price Obligation (DPO), dan Flush Out (FO). Menurutnya, ketiga hal tersebut dianggap sudah tidak efektif pada saat ini.
 
Berikutnya, Apkasindo menyampaikan saran berupa peniadaan Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) untuk sementara waktu. Atau paling tidak, ia menambahkan, pemerintah dapat melakukan penurunan PE dari USD200 menjadi USD100 dan menurunkan Bea Keluar dari USD288 menjadi USD100, serta menghapus Flush Out sebesar USD200.
 
“Asumsi yang digunakan adalah jika beban CPO sudah diturunkan maka harga CPO domestik akan terangkat, harga TBS (Tandan Buah Segar) kembali baik, ekspor akan kembali lancar, dan kondisi saat ini harga minyak bumi di atas harga CPO,” tambahnya.
 
Selain itu, ia juga menambahkan pemerintah dapat melakukan peningkatan konsumsi CPO dalam negeri melalui pemberlakuan mandatori Biodiesel dari B30 ke B40. Hal ini dilakukan untuk menjaga supaya harga CPO global tidak terkoreksi (turun) akibat ekspor (stok CPO Indonesia).
 
“Supaya ketersediaan CPO dalam negeri yang diperkirakan mencapai tujuh juta ton bisa segera terserap paling tidak tiga juta ton untuk peningkatan dari B30 ke B40,” kata Apkasindo.
 
Lebih lanjut pada butir berikutnya, Apkasindo juga memerintahkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian BUMN melakukan pengawasan melekat kepada Kantor Pemasaran Bersama (KPBN).
 
“Supaya proses tender di KPBN patuh terhadap harga referensi Kementerian Perdagangan sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 55 Tahun 2015 dan memastikan tidak ada yang mengambil keuntungan sepihak di masa pemulihan ini,” tambahnya dalam tulisan tersebut.
 
Pada butir terakhir atau yang kelima, para petani sawit meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk segera merevisi Permentan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Niaga TBS. Sebab, Permentan ini dinilai hanya untuk petani yang bermitra.
 
“Faktanya luas kebun petani yang bermitra tidak lebih dari tujuh persen dari total luas perkebunan rakyat (6,72 juta hektare). Sisanya adalah petani swadaya yang melakukan usahataninya secara mandiri dan menggunakan harga referensi Kemendag untuk menjadi referensi perhitungan tandan buah segar (TBS),” tuturnya.
 
Dalam surat tersebut, Apkasindo juga menjabarkan kondisi di lapangan mengenai harga TBS yang tengah mengancam kesejahteraan petani dan buruh sawit. Kondisi petani sawit saat ini dinilai memprihatinkan karena harga TBS buah sawit di pabrik kelapa sawit berada pada angka rerata Rp800 per kilogram TBS untuk petani swadaya dan Rp1.200 per kilogram untuk petani bermitra.
 
“Harga ini akan lebih rendah jika petani sawit menjualnya ke pedagang pengumpul yaitu kisaran Rp300 sampai Rp600 per kilogram TBS,” tulis Apkasindo.
 

 
Padahal, biaya produksi (HPP) saat ini sudah mencapai Rp1.850 sampai Rp2.250 per kilogram dimana enam bulan lalu biaya produksinya hanya Rp1.200 per kilogram. Kenaikan biaya produksi ini cenderung diakibatkan kenaikan saprodi, terkhusus pupuk dan herbisida yang sudah mencapai 300 persen.
 
Pasalnya, harga pupuk tidak terkendali dan tidak ada kebijakan kementerian terkait untuk mengendalikannya. Sebab, komponen pupuk memakan sebanyak 60 persen  dari total biaya produksi TBS (HPP).
 
Meski pemerintah telah menetapkan pedoman perhitungan harga TBS milik pekebun (Permentan 1/2018) dinyatakan, untuk melakukan perhitungan TBS, harga CPO yang menjadi acuan bukan harga referensi Kementerian Perdagangan (Kemendag), melainkan harga tender CPO yang dihasilkan oleh KPBN.
 
Secara normatif, jika melihat harga CPO KPBN Juli 2022 sebesar Rp7.305 per kilogram, maka dapat dihitung harga TBS akan berada pada kisaran Rp1.460 per kilogram (dengan asumsi rendemen TBS sebesar 20 persen). Apabila dilakukan perbandingan jika patokan harga CPO berdasarkan harga referensi Kemendag, setelah dikurangkan dengan pajak dan pungutan serta biaya flush out, maka harga TBS petani akan berada pada kisaran Rp2.725 per kilogram TBS (selisih Rp1.265 per kilogram TBS).
 
“Dari perbandingan harga CPO KPBN dengan Harga Referensi Permendag untuk menetapkan harga TBS petani menggambarkan proses tender di KPBN tidak kompetitif dan proporsional sehingga harga CPO hasil tender KPBN selalu jauh di bawah harga referensi Kemendag dan berakibat hancurnya harga TBS di tingkat petani. Sehingga imbauan Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian untuk pabrik kelapa sawit membeli TBS petani Rp1.600 tidak dipatuhi,” tutup Apkasindo.
 

(HUS)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.