Jakarta: Perang Rusia dan Ukraina memengaruhi ekonomi beberapa negara di dunia, hingga mampu membuat negara-negara mengalami resesi ekonomi, bahkan terancam kolaps. Namun, ancaman resesi ekonomi itu diyakini tak dialami oleh Indonesia, karena keuangan negara dan perekonomian Indonesia masih terjaga dengan baik.
 
Salah satu negara yang terkena dampaknya adalah Sri Lanka yang saat ini diketahui menjadi negara bangkrut usai gagal bangkit dari krisis ekonomi yang semakin memburuk sejak awal 2022 lalu.
 
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ancaman resesi ekonomi ini sangat berpeluang dialami oleh semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus tetap waspada dengan ancaman resesi ekonomi dibeberapa negara, termasuk di Sri Lanka.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Meski demikian, dalam kondisi ini, ekonomi Indonesia disebut masih lebih baik dibanding negara lain. Menurut laporan Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects periode Juni 2022, ekonomi Indonesia masih diproyeksi tumbuh 5,1 persen.
 
Baca: Pemerintah Akui Sedang Kencangkan Ikat Pinggang
 
Bahkan, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia semakin bergeliat sampai 2024. Lembaga internasional itu memproyeksi ekonomi Indonesia tembus 5,3 persen pada 2023 dan 2024.
 
“Kalau melihat indikator makro saat ini, itu masih relatif resilien jika dibandingkan dengan negara yang lain, apalagi kalau dibandingkan dengan negara yang sedang kritis sekarang seperti Srilanka,” kata Faisal saat dihubungi, Kamis, 17 Juli 2022.

Ekonomi Indonesia lebih baik

Faisal menilai dari beberapa faktor, ekonomi Indonesia memang lebih baik dibanding negara lain. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2022 saja masih di level 5,01 persen. Angka tersebut lebih baik dibanding negara lain yang rata-rata hanya mencapai tiga persen dan lebih kecil dari AS.
 
Dijelaskan Faisal, salah satu ancaman besar yang dihadapi oleh Pemerintah saat ini adalah kenaikan inflasi yang dua tahun terakhir ini sangat signifikan. Meski naiknya cukup signifikan, Indonesia masih terbilang aman jika dibandingkan dengan Sri Lanka.
 
“Inflasi sebenarnya sudah mengalami peningkatan yang sangat signifikan, kalau kita bandingkan dengan kondisi dua tahun pertama pandemi, jadi memang dorongan inflasi itu besar sekali, cuma memang kalau dibandingkan dengan Sri Lanka misalnya. itu sangat jauh. Sekarang inflasi 4,35 persen, Sri Lanka 54 persen, jadi jauh sekali,” jelasnya.
 
“Jadi Indonesia kalau dibandingkan dengan negara-negara lain seperti yang mengalami resesi ini masih moderat jelas, tapi kita tetap harus waspada karena inflasi meningkat terus. Inflasi umum memang 4,35 persen tapi inflasi pangan itu sudah hampir 10 persen,” tambahnya.
 
Menurut Faisal, meski indikator ekonomi Indonesia baik, pemerintah tidak harus berpuas diri. Sebab, ancaman terjadinya resesi global ini bisa terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, hingga pemerintah harus waspada dengan ancaman tersebut.
 
Salah satu kewaspadaan yang harus dilakukan Pemerintah, lanjut Faisal, adalah mengeluarkan kebijakan yang tepat, karena jika salah mengeluarkan kebijakan, maka Indonesia bisa mengalami resesi seperti negara-negara lain.
 
“Apapun yang terjadi pada saat sekarang ini banyak faktor yang bisa mendorong kita untuk ekonominya lebih buruk, terutama dari tekanan global yang luar biasa. Ke depan ketidakpastian juga meninggi, jadi tetap harus berjaga-jaga, pemerintah tetap harus sangat hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, baik dari fiskal dan juga harus didukung dengan kebijakan moneter,” ujarnya.

Pemerintah harus waspada inflasi pangan

Oleh sebab itu, kata Faisal, Pemerintah harus mewaspadai terjadinya inflasi pangan di Indonesia, karena hal tersebut bisa memacu gejolak besar dalam negeri.
 
“Dan yang lebih kita waspadai adalah inflasi pangan, karena itu yang mencakup hajat hidup orang banyak, menyangkut masalah perut, basically ya dan kalau kita lihat Srilanka itu faktor utama yang mendorong untuk rezim turun adalah itu faktor pangan,” ungkapnya.
 
Faisal pun mencontohkan gejolak yang terjadi pada 1998 hingga Presiden Soeharto dipaksa turun adalah masalah pangan. Oleh sebab itu, Pemerintah harus jeli dalam mengambil kebijakan agar inflasi pangan tidak terjadi di Indonesia, karena banyak faktor yang bisa membuat Indonesia mengalami hal tersebut, salah satunya adalah perang antara Rusia dan Ukraina.
 
“Kalau kita ingat pada 1998 yang menjadi alasan turunnya Presiden Soeharto itu adalah ketika masalah pangan, ini menjadi kelaparan di mana-mana, jadi menurut saya tetap harus hati-hati menanggapi masalah inflasi dan harus menjaga jangan sampai tidak terkendali, terutama inflasi pangan,” tutupnya.
 

(ALB)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.