Jakarta: Kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin marak terjadi. Tetapi mengapa pihak kepolisian seolah sulit untuk memberikan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual?  
 
Berkaca pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan, tepatnya Pondok Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur. Mengapa Moch Subchi Azal Tsani (MSTA), pelaku sekaligus anak dari Kiai Muhammad Muchtar, sang pemilik pondok pesantren sangat sulit untuk ditangkap?
 
Laporan awal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bechi bahkan sudah dilaporkan terhadap pihak kepolisian setempat semenjak tahun 2017. Tapi baru di tahun 2022, Sebchi baru bisa ditangkap oleh kepolisian.  

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Debanik mengatakan, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sering kali ditutup-tutupi untuk menjaga nama baik intitusi yang terlibat. Menurutnya setiap institusi atau lembaga harus menyadari dan mengakui bahwa pelecehan atau kekerasan seksual memang terjadi.  
 
Kasus kekerasan atau pelecehan seksual di Indonesia menurutnya sudah dilengkapi dengan instrumen hukum yang cukup, tetapi penegakan hukum ini yang masih belum tegas. Pandangan negatif masyarakat Indonesia terhadap korban membuat proses penegakan hukum menjadi sulit.  
 
“Karena di masyarakat kita juga ada nilai-nilai sosial yang sering kali korban itu justru kalau dia membuka peristiwanya, dia (korban) malah menjadi korban berikutnya. Yaitu labeling sosial, misalnya bahwa dia dianggap orang yang tidak baik atau semacamnya. Makanya orang cenderung menjadi untuk menutup,” ujar Taufan Damanik dalam tayangan Metro Siang, Selasa, 12 Juli 2022.  
 
Dia juga menyampaikan, banyak tekanan yang ditujukan kepada korban saat mereka memilih untuk bersuara. Tekanan yang menyerang nama baik, integritas korban baik di media sosial maupun di ruang publik membuat korban semakin sulit untuk bersuara.  
 
Masyarakat maupun media lanjut dia, harus bersama-sama  melindungi dan berpihak terhadap korban. Jangan sampai membangun pandangan yang negatif terhadap korban kekerasan atau pelecehan seksual. Karena korban seharusnya diayomi, dilindungi, dan didukung haknya. (Tamara Pramesti Adha Cahyani)
 

(MBM)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.