Jakarta: Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai Indonesia perlu segera melakukan transformasi sistem pangan agar lebih resilien dan adaptif dalam menyikapi potensi terjadi krisis pangan. Apalagi potensi risiko dari sisi domestik maupun global terbilang cukup besar.
 
“Potensi terjadinya krisis pangan sangat besar kalau dilihat dari berbagai faktor, internal dan eksternal. Ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat dan usaha mikro kecil di sektor makanan dan minuman perlu menjadi fokus,” ucap Felippa dalam keterangan tertulis, Selasa, 12 Juli 2022.
 
Dia menyampaikan, potensi krisis pangan pada Indonesia sangat besar dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Faktor internal, dimana sistem pangan Indonesia yang masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi, dan panjangnya rantai distribusi. Hal tersebut berperan besar dalam pembentukan harga.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Sementara itu, kondisi geopolitik internasional, seperti perang Rusia dan Ukraina yang berdampak pada perdagangan pangan global juga berkontribusi menyusul keterkaitan banyak negara pada pasar internasional.
 
Tak kalah penting, kata Felippa, perubahan iklim juga menyebabkan terganggunya masa panen dan proses produksi, Sektor pertanian Indonesia termasuk yang rentan terhadap dampak negatif krisis iklim.
 
“Sistem pangan kita perlu bertransformasi dan fokus pada ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat. Keterjangkauan, selain ketersediaan, juga sangat penting karena pandemi menurunkan daya beli masyarakat,” ujarnya.
 
Resiliensi sektor pertanian, keberlangsungan lingkungan, dan ketahanan pangan adalah tujuan yang saling terkait. Sistem pertanian dituntut untuk memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat dengan meminimalisir dampak lingkungan dan harus lebih tahan terhadap krisis iklim.
 

 
Menurutnya, transformasi mendesak dilakukan demi mengurangi risiko krisis pangan di masa depan. Sistem pertanian perlu secara aktif mengambil strategi mitigasi dan adaptasi perubahan lingkungan.
 
Penggunaan cara-cara bertani yang malah merusak lingkungan perlu segera dihentikan. Program food estate misalnya, perlu dipertimbangkan kembali pelaksanaannya karena hal ini justru tidak aman untuk lingkungan.
 
Sistem pertanian idealnya mengadaptasi keterbatasan lahan dengan memaksimalkan lahan yang ada melalui penggunaan input pertanian berkualitas, pembangunan infrastruktur pendukung pertanian, dan memperbaiki mekanisme adopsi Kartu Tani.
 
“Indonesia tetap perlu responsif dan aktif dalam perdagangan pangan internasional. Kebijakan proteksionis, yang sempat dilakukan Indonesia, malah akan membahayakan Indonesia karena dapat membuka peluang terjadinya pelarangan ekspor serupa oleh negara lain. Indonesia juga harus dapat terlihat sebagai mitra dagang yang dapat diandalkan,” pungkas Felippa.
 

(HUS)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.