Depok:  Sebanyak 30 peneliti dari berbagai bidang di Indonesia telah terpilih untuk menjalani program Science Leadership Collaborative (SLC).  Program ini nantinya akan mengantarkan mereka menjadi pemimpin masa depan pada bidang keilmuan masing-masing.
 
The Conversation Indonesia (TCID) mengembangkan program SLC dengan didukung oleh The David and Lucile Packard Foundation dan berkolaborasi dengan pakar nasional.  Dua dosen Universitas Indonesia, yaitu Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Krisna Puji Rahmayanti, S.I.A., M.P.A dan Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI), Nuraziz Handika, S.T., M.T., M.Sc turut terpilih sebagai peserta pada program tersebut.
 
Krisna merupakan lektor bidang pemerintahan, kebijakan, dan layanan publik untuk isu kesehatan, bencana, dan manajemen publik di FIA UI.  Ia sedang menjalani studi doktoral di University of Birmingham, Inggris, dengan fokus riset di bidang tata kelola bencana.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Krisna juga merupakan salah seorang pendiri Pusat Kolaborasi dan Resiliensi, sebuah komunitas yang mendorong forum kolaborasi lintas sektor, peningkatan literasi pendidikan tinggi, dan mitigasi risiko bencana.  Nuraziz adalah dosen dan peneliti di Program Studi Teknik Sipil FT UI yang ahli di bidang rekayasa struktural, terutama dalam percobaan dan pemodelan mekanika rekahan suatu struktur dan material.
 
Ia meraih gelar doktor dari INSA Toulouse, Prancis, dan tergabung dalam Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan, kumpulan para ahli jembatan dari berbagai unsur yang bertugas melakukan evaluasi keamanan jembatan dan terowongan agar memenuhi standar yang berlaku.  Para peneliti yang menjadi peserta dalam program ini akan merasakan hal yang disebut sebagai kepemimpinan transformasional.
 
Peserta akan belajar untuk berinovasi, mempengaruhi bidang dan komunitasnya, serta memobilisasi sumber daya dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi berbagai permasalahan kompleks yang ada di masyarakat.  Selama sembilan bulan, para peserta program akan mengikuti serangkaian lokakarya dari fasilitator dan pembicara internasional.
 
Selain itu, mereka juga akan mengikuti sesi mentoring bersama tokoh sains terkemuka dari dalam dan luar negeri, serta terlibat dalam berbagai kegiatan yang mendorong kolaborasi antarpeserta.  Ilmuwan senior sekaligus mantan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Sangkot Marzuki menilai program ini sebagai terobosan yang sangat baik.
 
“Saya rasa kemampuan untuk memimpin dan berkolaborasi adalah dua hal yang perlu kita bangun sejak awal karier kita sebagai peneliti. Semoga program ini bisa melahirkan pemimpin-pemimpin sains baru di Indonesia,” ujar Sangkot.
 
Selain harapan untuk melahirkan pemimpin sains di masa yang akan datang, Manajer Program SLC, Fito Rahdianto juga berharap program ini mampu memicu lahirnya lebih banyak lagi program kepemimpinan untuk peneliti di Indonesia. Tak hanya dari bidang keilmuan yang beragam, 30 peneliti yang terpilih juga berasal berbagai daerah di Indonesia.
 
Sebagian mereka terafiliasi dengan universitas dan lembaga pemerintah non-kementerian, sementara sebagian lainnya merupakan peneliti di lembaga swadaya masyarakat dan peneliti swasta. 
 
Dosen di Kobe University yang juga merupakan konsultan program SLC, Dr. Mizan Bisri menilai keberagaman dalam partisipan program ini penting untuk turut membuka jalan bagi kolaborasi lintasdisiplin dan lintas sektor dalam ekosistem riset Indonesia. “Seleksi program ini telah menghasilkan sekelompok peneliti berkualitas, yang mewakili berbagai area penelitian, lembaga, serta wilayah,” ujarnya.
 
Editor Eksekutif The Conversation Indonesia, Prodita Sabarini mengatakan, program SLC ini hadir sebagai pelengkap dan penguat program-program lain bagi ilmuwan yang sudah ada, yang dapat meningkatkan optimisme terhadap komunitas ilmiah Indonesia. “Saya bangga dan bersyukur bahwa The Conversation dapat ikut berperan membangun komunitas pemimpin sains yang memahami pentingnya kolaborasi untuk memecahkan tantangan yang kompleks,” ungkapnya.
 
SLC secara spesifik dirancang menggunakan metode maupun pendekatan terdepan dan paling mutakhir seperti Leadership Development yang dikembangkan di Harvard University, kerangka pemikiran ahli disrupsi dan organisasi eksponensial dari India, Salim Ismail, pelopor pemikiran sistem dari Amerika Serikat, Barry Oshry, dan pengembang teori kompleksitas dari Swedia, Nora Bateson untuk mendukung perkembangan vertikal para peserta, khususnya dalam aspek kepemimpinan dan kolaborasi.
 

 

(CEU)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.