NIKMATNYA menyeruput kopi panas pagi itu sirna seketika. Teman yang menemani saya di kedai kopi uring-uringan. “Katanya rapat dengar pendapat, kok, anggota Komisi III DPR malah mencecar Mahfud enggak keru-keruan,” kata teman itu.
 
Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga Ketua Komisi Kepolisian Nasional Mahfud MD pada Senin, 22 Agustus 2022.
 
Teman itu menuding anggota DPR memaksa Mahfud untuk membuka rahasia yang tidak mau dibukanya. Mahfud tidak mau membuka rahasia itu karena ia tahu diri. Tahu apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan. Ia memegang teguh etika jabatan yang sangat dijunjungnya.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Saya mengingatkan teman itu bahwa anggota DPR juga punya etika. Berdasarkan Kode Etik DPR, anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.
“Anggota harus selalu menjaga harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta dalam menjalankan kebebasannya menggunakan hak berekspresi, beragama, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan,” begitu bunyi Kode Etik DPR.
 
Pangkal masalah yang dipersoalkan teman saya ialah Mahfud enggan mengungkap identitas perwira berpangkat komjen yang mengancam mundur jika Ferdy Sambo tidak ditetapkan menjadi tersangka.
 
Dengan bersuara lantang dalam rapat, seorang anggota Komisi III mengatakan tidak ada alasan bagi mitranya untuk tidak menjawab pertanyaan dari anggota Komisi III kecuali dalam ranah penegakan hukum.
 
”Kami mengundang Bapak ke sini untuk mempertanggungjawabkan apa yang disampaikan ke publik, sampaikan ke publik secara terbuka, jangan setengah-setengah,” tegas anggota itu.

Mahfud bergeming, diam saja. Dia tidak mau mengungkap identitas perwira berpangkat komjen yang mengancam mundur jika Ferdy Sambo tidak ditetapkan menjadi tersangka. Persoalan itu hanya akan dia sampaikan kepada Kapolri dan Presiden. ”Saya tidak bisa dipaksa untuk hal ini,” ujar Mahfud.
 
Teman saya memuji Mahfud punya integritas tinggi, tidak mau dipaksa-paksa anggota Komisi III DPR. Ironisnya, kata teman itu, anggota Komisi III malah mengajak Mahfud untuk melanggar etika yang dipegangnya erat-erat. Kata dia, rapat itu menyuguhkan siapa yang berjalan di atas etika dan siapa saja yang terbiasa menabrak etika.
 
Tidak sedikit anggota Komisi III DPR yang terus berupaya agar Mahfud menjawabnya dalam forum tertutup. “Apa urgensinya anggota Komisi III DPR untuk mengetahui identitas perwira berpangkat komjen yang mengancam mundur jika Ferdy Sambo tidak ditetapkan jadi tersangka?” kata teman saya.
 
Kata teman itu, sama sekali tidak ada makna publik di balik identitas perwira berpangkat komjen itu. Paling penting bagi publik, kata dia, Sambo sudah ditetapkan sebagai tersangka.
 
Teman itu khawatir, jika identitas perwira itu dibuka, malah anggota dewan terhormat memarahinya. Dimarahi karena dia menjadi faktor penentu Sambo ditersangkakan.
 
Saya menampik pendapat teman itu. Meski terdapat jurang yang menganga antara aspirasi masyarakat dan apa yang disuarakan dalam rapat itu, anggota DPR berdasarkan kode etik bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya demi kepentingan negara.
 
Tindakan anggota Komisi III yang memaksa Mahfud membuka identitas perwira itu bisa saja dalam kerangka kepentingan negara. Akan tetapi, terus terang, saya sendiri tidak menemukan urgensinya. Sulit untuk menampik adanya tafsiran bahwa pemaksaan itu bentuk keberpihakan kepada Sambo.
 
Apresiasi setinggi-tingginya diberikan teman saya kepada Mahfud. Kata dia, andai saja Mahfud tidak terlibat aktif mengawal kasus kematian Brigadir J, mungkin kasus itu tetap menjadi misteri.
 
Meski sedang menunaikan ibadah haji, Mahfud terus memonitor kasus itu. Pada 14 Juli atau tiga hari setelah kepolisian mengumumkan kasus kematian Brigadir J akibat tembak-menembak, Mahfud menilai kasus itu janggal.
 
“Kasus ini memang tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja karena banyak kejanggalan yang muncul dari proses penanganan maupun penjelasan Polri sendiri yang tidak jelas hubungan antara sebab dan akibat setiap rantai perisitwanya,” kata Mahfud dari Madinah.
 
Saya sependapat dengan penilaian seorang pengamat bahwa cirinya sebagai pendidik mungkin yang menyebabkan Mahfud harus memberi contoh bagaimana seorang pemimpin bertindak walau harus mempertaruhkan jabatan. Mahfud itu orang yang tahu diri.

 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.